Sebelas tahun yang lalu....
Semi Eita menguap sebentar saat ia keluar dari kamarnya setelah tidur malamnya yang tak begitu nyenyak karena jam tidur yang terlalu singkat. Ini karena ia baru selesai dari pertemuan dengan para petinggi sekitar pukul 3 dini hari dan ia harus kembali bangun pada pukul 6 pagi. Eita harus kembali ke kantor pukul 8 ngomong-ngomong. Melakukan pekerjaannya seperti biasa yang begitu menyibukkan akhir-akhir ini.
Para pelayan membungkukkan badannya serta menyapa Eita yang berjalan menuju ruang makan. Saat langkahnya hampir sampai pada ruang makan itu, sayup-sayup ia mendengar sebuah percakapan disusul tawa dari seorang wanita yang sangat Eita kenali. Ketika langkahnya tiba, barulah ia mengetahui asal dari suara itu.
Melihat Eita di sana, wanita itu tersenyum menyapa, "Eita-kun, selamat pagi."
"Selamat pagi, ibu."
Eita menghampiri wanita itu seraya memeluknya singkat. "Ayo duduk, kita sarapan." Melihat Semi Haruka akan menarik kursi di samping kanannya untuk anaknya duduk para pelayan langsung sigap mengambil alih. Mereka segera menyiapkan piring dan sarapan pagi ini untuk sang tuan muda. "Kamu tahu, Eita-kun? Osamu-kun sekarang sudah bisa memanggil nama ibu, kamu mau dengar?"
Eita melirik seorang anak kecil di samping kiri ibunya yang tengah memegang sendok di tangan kanannya sambil menundukkan pandangannya malu-malu. "Oh ya? Coba aku mau dengar."
"Osamu-kun coba panggil nama ibu seperti tadi, Eita-kun ingin dengar."
Anak kecil itu mengeratkan pegangannya pada sendok karena gugup harus mengulang panggilan yang sempat ia bisa katakan beberapa menit lalu. Setelah sekali lagi diberi keberanian oleh Haruka. Anak itu memandang Haruka di sampingnya dan juga Eita yang tampak menunggu.
"I—Ibu Haruka."
"Wah pintar sekali!" Haruka memeluk anak itu dengan bangganya. "Osamu pintar sekali, ibu sangat bangga!"
Osamu tersenyum kecil. Mendapatkan pelukan seperti ini terasa sangat asing namun juga hangat. Entah kenapa, rasanya sangat menyenangkan seolah Osamu sangat merindukan perlakuan seperti ini—yang tentu tidak bisa ia ingat sama sekali. Matanya bergerak untuk melihat Eita yang ternyata tersenyum padanya. Eita mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Osamu.
"Benar, Osamu sangat pintar."
Mendengar itu, entah kenapa perasaan Osamu semakin menghangat.
Kegiatan sarapan mereka kembali berlanjut ditemani perbincangkan kecil seputar pekerjaan atau hal lainnya yang Haruka lontarkan pada Eita. Pria itu tentu menjawab sambil diam-diam mengamati Osamu yang asik memakan sarapannya dan sesekali berbicara dengan para pelayan yang menyiapkan menu tambahan di meja. Sepertinya Osamu sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya sedikit demi sedikit.
Eita masih ingat ketika pertama kali ia melihat Osamu di pelelangan itu. Pakaian yang lusuh dengan luka lebam disekujur tubuhnya. Tubuh yang kurus itu, Eita pikir anak itu tidak akan berdaya untuk melakukan apapun. Tapi diluar dugaannya, anak sekecil itu bisa berhadapan dengan pria dewasa tanpa rasa takut dan tanpa tubuh gemetar. Tidak takut ataupun jijik ketika darah segar menyelimuti tubuhnya akibat perlawanan yang ia lakukan. Bahkan, pupil matanya tak mencerminkan reaksi menyesal melihat tubuh pria dewasa yang terbujur kaku di hadapannya akibat ulah darinya.
Menyaksikan itu entah kenapa menimbulkan suatu perasaan yang sulit Eita mengerti. Perasaan bahwa Eita ingin memiliki anak itu di bawah kakinya, ingin membantu perkembangan luar biasa anak itu karena ia yakin Osamu pasti berguna untuknya—
"Tuan Eita?"
Lamunan Eita buyar ketika Osamu memanggil namanya. Eita cukup tertegun sebentar karena pertama kali mendengar namanya disebut oleh Osamu. Eita tak sadar jika acara sarapan mereka telah selesai—kini Eita tengah bersiap pergi ke kantor—namun langkahnya dihentikan oleh Osamu yang kini berdiri di hadapannya. Memeluk buku gambar di dekapannya dengan wajah malu-malu.
"Kamu memanggilku?"
Osamu tak menjawab namun memberikan buku gambar itu pada Eita. Ia menerima buku gambar itu dengan bertanya-tanya, kenapa Osamu memberikannya buku gambar?
Saat ia membukanya, terjawab sudah pertanyaan di kepalanya.
"Ibu guru memintaku menggambar tokoh favoritku. Kata Ibu Guru, aku harus memberikan ini pada Tuan Eita."
Halaman pertama pada buku gambar itu menampilkan seorang anak laki-laki yang tengah memegang tangan dua orang pria di sisi kanan dan kirinya. Meski gambar itu dibuat ala kadarnya seorang anak kecil namun Eita dapat mengenali sosok pria pada gambar itu.
Itu dirinya dan Wakatoshi.
Osamu menggambar Eita sebagai tokoh favoritnya?
Kenapa?
"Kamu bisa menggambar kartun yang kamu tonton setiap pagi sebagai tokoh favoritmu, Osamu," ujar Eita. "Tapi kenapa kamu menggambar diriku?"
"Karena Tuan Eita tokoh favoritku," jawab Osamu, wajah polosnya itu terlihat jujur dan itu sangat menggemaskan. Osamu menunjuk gambar Wakatoshi pada buku gambar. "Tuan ini sudah menolongku, begitupun dengan Tuan Eita. Itu kenapa kalian tokoh favoritku."
Eita terdiam mendengarnya. Entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdegup kencang mendengar jawaban Osamu yang begitu menyentuh hatinya. Menimbulkan rasa penyesalan atas pikiran-pikiran egoisnya beberapa waktu lalu.
Mengapa ... Eita berpikir ingin memanfaatkan Osamu? Memanfaatkan anak kecil polos ini dan membiarkan Osamu masuk ke dalam dunianya?
"Tuan ini namanya Tuan Wakatoshi, diingat ya."
Eita memberikan buku gambar itu pada Osamu yang terlihat bingung namun mengangguk mengerti atas ucapan Eita sebelumnya. Osamu berguman nama wakatoshi untuk mengingat terus nama pria yang ia gambar. Eita mengelus puncak kepala Osamu, tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya menuju mobil yang sudah siap mengantarnya ke kantor.
"Kita berangkat, Tuan?" tanya sang supir ketika melihat Eita sudah duduk di bangku penumpang.
Eita menjawab ya kemudian memandang ke luar jendela yang di sana terlihat Osamu berdiri di depan pintu sambil memeluk buku gambar di sebelah tangannya. Di samping anak itu terlihat seorang pelayan wanita yang berbicara kemudian membantu Osamu untuk melambaikan tangannya pada Eita yang sudah dibawa pergi oleh mobil yang ditumpanginya.
"Peter," panggil Eita pada sang supir yang terngah mengemudi. "Panggil guru home schooling Osamu ke kantor, saya harus bicara dengan beliau."
"Baik Tuan."
Eita memutuskan untuk berdiskusi dengan guru home schooling perihal Osamu dan apa yang harus Eita lakukan untuk Ksamu kedepannya. Guru itu menyarankan untuk membiarkan Osamu bersekolah di sekolah umum agar ia bisa menjalin komunikasi dengan baik bersama teman-teman sebayanya.
Eita tanpa sadar hanya mengangguk-angguk selama pembicaraan itu, membayangkan Osamu hidup seperti anak-anak normal pada umumnya, memihat senyum Osamu, tawa Osamu, kebahagiaan Osamu—entah kenapa membuat perasaan awal Eita pada Osamu mulai menghilang.
Mungkinkah ia harus mengikuti saran Guru Osamu?
Namun ....
Tepat ketika Osamu berumur 13 tahun.
Eita masih ingat suasana malam itu. Ia tak bisa tidur beberapa hari ini karena cuaca malam yang memburuk. Angin kencang dan hujan yang tak kunjung berhenti. Ditambah pekerjaannya yang tidak berjalan sesuai rencananya karena salah satu rekannya berusaha mengkhianatinya. Malam yang dingin, suara petir yang menyelimuti malam itu membuat Eita beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur untuk mengambil minuman. Sepertinya ia perlu menjernihkan pikirannya agar ia bisa tidur malam ini.
Tapi ....
Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri membelakanginya. Ruangan yang gelap yang hanya dibantu oleh cahaya bulan yang mengintip dari balik gorden membuat Eita sulit mengenali sosok itu. Tapi Eita masih bisa melihat jika sosok itu memakai piyama satin berwarna abu-abu.
Tunggu ....
Piyama?
Ketika Eita akan memanggil nama itu, sosok itu berbalik ke arahnya.
Deg!
Mata Eita membulat sempurna.
"O ... sa—mu?"
Sosok itu, wajahnya terlihat kotor oleh darah yang terciprat di wajahnya. Piyama satinnya tak berbeda jauh, banyak cipratan darah di sana-sini dan barulah Eita sadari bahwa ada mayat di hadapan Osamu—sudah terbujur kaku dengan darah segar mengalir di sekitarnya. Sebuah pisau yang sudah berlumuran tetesan darah berada di genggaman Osamu.
"Tuan Eita!"
Melihat Eita, wajah Osamu mendadak sumringah.
Apa itu?
Kenapa Osamu ... terlihat bahagia?
Eita menghampiri Osamu yang tampah menunggu. Pandangan Eita tak kunjung berhentilah menatap tubuh kaku itu. Saat langkahnya tiba, matanya kembali terbelalak melihat siapa mayat itu.
Dia adalah rekan kerjanya yang berusaha mengkhianati Eita.
"Dia datang ingin membunuh tuan Eita," ujar Osamu tiba-tiba karena tidak ada ucapan apapun dari Eita.
Membunuhku?
"Kau ... membunuhnya karena dia berniat akan membunuhku?"
Osamu mengangguk antusias.
Apa ini?
Eita tertawa.
"Osamu sebaiknya bersekolah di sekolah umum agar bisa berinteraksi seperti anak anak seusianya, Tuan."
"Itu akan membantu Osamu tumbuh dan berkembang seperti anak-anak seusianya."
Omong kosong.
Seperti anak-anak seusianya, apanya?
Sejak awal Osamu memang berbeda.
Benar.
Osamu memang cocok untuk menjadi alatnya. Dia adalah alat yang cocok untuk membantu Eita berada di posisi puncak untuk menguasai seluruh port.
Komentar
Posting Komentar