Langsung ke konten utama

Part 18; Solasta S2

 Suna Rintarou memandang langit-langit kamarnya yang gelap gulita karena saklar lampu yang sengaja ia matikan. Niatnya sejak sepuluh menit yang lalu adalah tidur, tetapi pria alpha itu sama sekali belum bisa tertidur. Padahal, matanya sudah berulang kali terpejam namun rasanya … untuk masuk ke dalam alam mimpi sangat lah menyulitkan. Alhasil, Rintarou hanya bisa berguling ke sana ke mari di atas kasur king size miliknya sambil memandang langit-langit kamar—tentu dengan pikirannya yang melayang ke mana-mana. Memikirkan pekerjaannya yang begitu banyak, papanya yang tidak bisa ia mengerti, gadis alpha bernama Shimizu Kiyoko yang kini menjadi calon pasangannya, dan ….

Sebenarnya, Rintarou tidak ingin memikirkan hal itu juga. Tapi, ingatannya seperti memaksanya terus menerus mengingat kejadian-kejadian yang terjadi pada hidupnya satu tahun belakang ini. Ingatan yang akhirnya mengerucut pada seseorang. Seseorang yang begitu sangat ia cintai yang telah mengisi hatinya dan menciptakan kenangan-kenangan selama ini—yang akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan dirinya.

Saat bayangan sosok itu terlintas, Rintarou menutup matanya dengan sebelah lengannya. Napasnya tiba-tiba memberat karena sesak di dadanya kembali muncul tatkala mengingat sosoknya; wajahnya, tawanya, dan senyumnya. Semua tentangnya yang begitu sangat Rintarou rindukan sampai detik ini.

Sesaknya yang tak mereda membuat Rintarou memilih untuk bangkit dari tidurnya dan duduk di atas ranjang. Menyandarkan punggungnya di kepala ranjang sambil memeluk lututnya sendiri dan membenamkan wajahnya di sana. Ia berusaha mengatur napasnya sendiri disusul meremat helai rambut kecoklatannya dengan gusar.

Selalu seperti ini.

Setiap malam, ketika Rintarou kesulitan untuk tidur atau ketika orang-orang disekitarnya menyebutkan namanya atau membicarakan dirinya di depan Rintarou; ia akan merasa sesak dan gelisah seperti ini.

"Samu …." Rintarou berbisik lirih saat tak bisa ia bendung lagi untuk menyebut namanya. Matanya mulai basah. Ia benci ketika dirinya mulai gelisah dan meratapi kepergiannya seperti ini.

Pikiran Rintarou sangat kacau sekarang.

Rintarou membuka laci nakas samping tempat tidurnya, mencari sebuah botol berukuran kecil yang ia simpang di dalam sana. Ketika botol tersebut berhasil ditemukan, Rintarou kemudian membawa botol tersebut dan bangkit dari atas ranjang, berjalan menuju dapur dengan keadaan gelap gulita. Hanya sinar bulan dan cahaya kota yang mengintip dari balik gorden yang membantu Rintarou untuk sampai di area dapur.

Pria alpha itu meraih gelas kemudian ia isi dengan air hangat. Membuka tutup botol tersebut, mengambil sebutir kapsul obat, kemudian ia minum. Air dalam gelas itu habis dalam beberapa kali tegukan untuk membantunya meminum kapsul obat tersebut. Rintarou menyimpan gelas tersebut di atas counter menciptakan bunyi 'ting' dengan jelas karena ruang yang terlalu sunyi.

Ketika Rintarou mulai merasa lebih baik, ia kembali ke kamarnya. Menyimpan botol tersebut kembali di dalam nakas kemudian merebahkan tubuhnya kembali.

Sebelum memejamkan mata, Rintarou memandang langit-langit kamarnya sekali lagi sebelum akhirnya pria alpha itu masuk ke dalam alam mimpinya.

Ketika hal seperti ini terjadi.

Hanya dengan meminum obat itu Rintarou akan bisa tertidur.


*


*


"Hei! Don't come close!"

Suara gemuruh di dalam ruangan tanpa cahaya yang hanya dibantu oleh sinar bulan meredamkan suara sosok pria berlumuran darah yang bergerak terseok di atas lantai berlapis semen menjauhi seseorang yang berjalan mendekat padanya. Pria itu tak bisa melihat cukup jelas siapa sosok di depannya karena pencahayaan yang temaram ditambah sebelah matanya yang terluka karena tersayat oleh pisau. Ia hanya bisa mendengar suara sepatu bertemu lantai dan deburan jantungnya sendiri.

"I'm warning you, stop right there!"

Namun entah karena suaranya yang tak terdengar atau memang sosok itu tak mau mendengar peringatan pria itu ia tetap melanjutkan langkahnya sampai mereka kini hanya berjarak dua langkah saja.

Saat sosok itu sudah berdiri di hadapannya, pria itu dapat melihat sosoknya dengan jelas. Tahu siapa sosok itu, matanya membola ketakutan, "Y—you are—"

"Good afternoon, Mr. Federer." Sosok itu menyapa, "How are you?"

Pria itu tak membalas sapaannya dan makin bergerak mundur ketakutan dengan tangannya yang terulur meminta sosok itu untuk diam di tempatnya. Melihat siapa sosok itu, ia tahu apa yang akan terjadi dan kenapa situasi ini bisa terjadi. "I don't do anything!"

"Your last word?"

Mulutnya bergetar ketakutan saat sosok itu tiba-tiba mengacungkan pistolnya.

"I—"

Dor!

Sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya sosok itu menarik pelatuk pistol sehingga peluru itu menembak tepat mengenai kepala target.

"You really haven't patience, huh?"

Sebuah suara terdengar di belakangnya, ia menoleh dan mendapati rekan prianya yang berjalan menghampirinya. "Padahal Mr. Federer baru mau ngomong loh?"

"I say, last word bukan last words."

Mendengar jawabannya, pria itu tertawa tak percaya. "Permainan kata kepada target? Ya ampun … mau mati aja harus mikir dulu, ya?"

"Apa itu kesalahan, Tanaka-san?" tanyanya.

Tanaka Ryuunosuke benar-benar tak percaya dengan rekannya yang ternyata tak banyak berubah dari terakhir kali mereka bertemu. Ia masih terlihat polos seperti pertama kali mereka bertemu. "Astaga … kupikir selama di Jepang, kau akan belajar banyak untuk tidak menjadi polos, Osamu-kun."

Osamu mengerutkan dahi tanda tak mengerti dengan apa yang Ryuunosuke ucapkan. Ketika Osamu akan bicara, suara wanita terdengar memanggil.

"Ryu!"

"Astaga … kakakku sangat berisik, ayo Osamu-kun kita pergi dari sini!" Mendengar suara kakaknya memanggil, Ryuunosuke segera pergi dari sana sambil merangkul Osamu untuk membawa pria itu juga pergi dari sana. "Astaga kau bau anyir, sepertinya kamu harus mandi Osamu-kun."

"Anda juga, Tanaka-san."

Meninggalkan pria tak bernyawa yang sudah tersungkur di sana dengan darah yang merembes menggenangi sekitarnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu