Langsung ke konten utama

Part 495; Solasta

 "Rin ...."

Rintarou mendengar suara seseorang memanggil namanya. Meski samar tetapi ia dapat mendengar suara itu yang terus memanggil namanya berulang kali. Gerakan bibirnya terlihat samar oleh penglihatan. Lagi dan lagi. Memanggil namanya berulang kali seolah membangunkannya dari tidur panjang.

Suara itu semakin jelas terdengar begitupun dengan jangkauan penglihatannya yang tadinya hanya melihat gerak bibirnya saja. Kini menjangkau luas sampai ia dapat melihat sosok yang memanggil namanya berulang kali.

"Rin ...."

Seorang anak kecil.

Rintarou dapat melihat sosok anak kecil laki-laki berusia sekitar tujuh tahun berdiri di hadapannya. Dengan latar senja sebuah pantai yang membentang lautan di belakang anak laki-laki itu. Ia tersenyum cerah, memandang Rintarou dengan helai rambutnya yang bergerak mengikuti arah angin yang berhembus di antara mereka.

Siapa?

Rintarou tak mengenal sosok itu tapi ia kenal suasana ini. Pantai dan lautan. Tempat tinggalnya selama ini sebelum ia mengetahui sosok ayahnya dan tinggal di apartemen.

"Rin-kun!"

Lalu sosok lain berdiri di samping anak laki-laki itu. Memanggil namanya dengan senyum yang tak kalah cerah dari anak laki-laki di sampingnya. Mereka ... terlihat sangat mirip—namun juga berbeda. Bagai pinang dibelah dua. Hanya warna iris matanya saja yang berbeda.

"Rin! Rintarou!"

Kemudian sosok lain berdiri di antara mereka. Wajah ini ... Rintarou mengenali sosok anak kecil itu.

"Kuroo—"

Suara Rintarou tercekat saat memanggil nama anak laki-laki yang ia kenali di antara mereka. Penglihatannya perlahan memudar dan ketiga sosok anak kecil itu berubah. Suasana senja pantai dan hamparan laut berubah menjadi malam yang mecekam. Terlihat sosok anak laki-laki pertama yang basah kuyup menatapnya memohon pertolongan.

"Rin ... tolong ... aku ...."

Lalu sosok anak laki-laki kedua terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Memanggil namanya dengan lirih berulang kali.

"Rin-kun ... hiks ...."

Kemudian ....

Deg!

Rintarou melihat sosok Tetsurou kecil yang menangis kencang di sana bersama ibunya. Memanggil nama Rintarou berulang kali dan satu nama yang mampu membuat Rintarou terdiam kaku. Jantungnya berdetak sesak begitu mendengar suara parau laki-laki itu yang meminta maaf penuh penyesalan berulang kali.

"Rin! Rintarou ... hiks! Maafkan aku! Maafkan aku Samu-kun! Aku ... hiks ... aku seharusnya ... hiks ... maaf ... maaf ...."

Rintarou merasa kepalanya pening melihat ketiganya. Rasa sesak di dadanya semakin menyebar membuatnya kesulitan bernapas. Rintarou berusaha bersuara, menggapai ketiga anak laki-laki itu kemudian penglihatannya berubah dan ia berada di antara ombak lautan.

"Uhuk!"

"Samu! Dimana kamu!"

Rintarou dapat mendengar suara lain. Bersautan dengan suara ombak dan keadaannya yang tak bisa bergerak. Tubuh Rintarou terombang-ambing terbawa ombak laut. Tak bisa bergerak sehingga ia tak bisa menyelamatkan dirinya.

Rintarou berusaha menggerakan tangannya ke atas untuk mencapai apapun yang bisa menahan tubuhnya yang akan tenggelam.

Namun ia pun akhirnya tenggelam.

Deg!

Rintarou terperanjat dan membuka matanya kembali. Matanya menatap sekelilingnya yang tak terlihat dengan jelas karena cahaya yang minim. Tapi yang ia tahu, bukanlah lautan.

Ia berada di tempat lain.

Tak ada siapapun di sana.

Hanya Rintarou sendirian.

Rintarou mencoba melangkahkan kakinya yang berat menuju ke manapun yang penting ia bisa keluar dari sana.

"Rin!"

Suara itu lagi.

"Rin!"

Rintarou mencari ke sana ke mari sumber suara itu. Sampai ia kembali melihat sosok yang sama berdiri cukup jauh dari tempatnya berada. Rintarou berlari. Menghampiri sosok anak laki-laki itu yang perlahan berubah ketika Rintarou semakin dekat menghampirinya.

Dari anak laki-laki berusia tujuh tahun kini ia tampak tumbuh besar. Namun senyum cerah yang ia miliki memudar perlahan.

Mata Rintarou membesar.

Tak ada senyum cerah yang terbentuk dari bibir pria itu. Semakin tumbuh dirinya. Semakin hilang senyum juga cahaya yang ia miliki. Semuanya terlihat suram. Wajahnya, dirinya, pakaiannya, dan sekitarnya. Semuanya berubah seolah laki-laki itu bukanlah orang yang sama.

Langkah Rintarou semakin melambat begitu melihat laki-laki itu sedikit tersenyum.

Tapi ....

Kondisi laki-laki itu ....

Penuh dengan darah di tubuhnya.

Matanya tampak menajam. Tanpa cahaya dan belas kasih dan tanpa sebuah nyawa; terlihat kosong.

Namun ... kenapa ia tersenyum?

Rintarou kembali mempercepat larinya. Ketika sosok itu perlahan berubah menjadi seseorang yang sangat Rintarou kenali. Tangannya meraih sosok itu, berusaha menggapainya ketika ia mulai sadar siapa sosok anak laki-laki itu.

Deg!

Sosok itu hilang ketika Rintarou hampir berhasil menggapainya.

Kenapa ....

Apa yang sebenarnya terjadi?

Deg!

Jantungnya berdebar kencang.

Rintarou meremat helai rambutnya ketika merasa pening mulai menjalar di kepalanya.

Kenapa ....

"Arght!"

Rintarou berteriak, melepaskan rasa frustasinya sehingga tanpa sadar dirinya berubah. Iris kecoklatannya berubah menjadi kuning safir, gigi taringnya mulai terlihat, dan perawakannya berubah menjadi sosok Alpha Rintarou yang selama ini bersemayam di dalam tubuhnya.

Alpha Rintarou meremas dadanya yang sesak karena jantungnya berdebar kencang. Tubuhnya terlihat sedikit menerawang tanda jika kekuatan alpha yang ia miliki perlahan melemah karena omeganya pergi darinya.

"Omega!"

Berteriak.

Alpha Rintarou memanggil sang omega.

Cukup lama ia terkurung di sana, cukup lama ... ia menunggu omeganya datang menyelamatkannya. Cukup lama ... sang alpha terkurung di dalam kegelapan menunggu cahaya menjemput dirinya untuk mempertemukannya dengan sang omega.

"Omega!"

Alpha Rintarou memanggil lagi, berlari mencari ke mana pun untuk mencari sosok omeganya di sana.

"Alpha ...."

Suara itu.

Alpha Rintarou menemukannya. Menemukan sang omega yang terduduk lemas dengan kakinya yang terantai. Sang alpha menghampiri omeganya, membawanya ke dalam pelukannya.

"You're here," lirih sang alpha, mengeratkan pelukannya pada tubuh rapuh sang omega sambil membenamkan wajahnya pada sisi wajahnya.

"I'm here," jawab sang omega, tak kala lirihnya menyamankan tubuhnya dalam dekapan sang alpha.

Alpha Rintarou dapat merasakan suhu tubuh omeganya mendingin. Ia melepaskan dekapannya dan menangkupkan wajah sang omega yang tersenyum kecil padanya. "What's wrong? Something happened to you?"

Sang omega menggeleng. Memegang lengan Alpha Rintarou dan menyamankan sentuhan pria itu pada kedua sisi wajahnya. Matanya terpejam merasakan sentuhan sang alpha yang sangat ia rindukan selama ini.

Ia membawa lengan sang alpha menuju perutnya. Matanya yang terpejam, perlahan terbuka kemudian bibirnya bergerak untuk berkata pelan, "Maaf Alpha."

"Aku harus membuatmu menunggu lagi."

Belum sempat bertanya maksud dari ucapan sang omega, sosok itu mulai memudar. Bagai bunga dandelion yang terbang tertiup angin perlahan menghilang dari dekapannya.

"Tunggu Omega!"

Sang alpha tak bisa menggapainya.

Sang omega ... kembali hilang dari sisinya.

"Aght!"

Alpha Rintarou merasa sesuatu menusuk jantungnya membuat deruan napasnya memendek dan sesak. Tubuhnya tak lagi bertenaga sehingga ia jatuh tersungkur karena kesulitan bernapas.

"ARGHT!!!"


*


*


*


*


*


"Detak jantungnya kembali muncul!"

"Periksa rekam jantungnya!"

"Dokter! Pasien membuka matanya!"

"Dokter! Pasien sudah sadar!"

Rintarou mendengar suara gaduh di sekitanya begitu ia perlahan membuka matanya yang langsung tersapa oleh cahaya lampu yang menyilaukan dari langit-langit. Berat. Rasanya seperti ada yang menggenggam kepalanya dan seluruh tubuhnya terasa kaku. Penglihatannya yang samar kini mulai terlihat jelas dan ia dapat melihat Dokter Sachiro berdiri di sampingnya. Melakukan pengecekan terhadap tubuhnya dibantu oleh beberapa perawat di sana.

"Tekanan darahnya normal."

"Detak jantungnya normal."

"Semuanya normal, Dokter."

Sachiro mengecek kedua mata Rintarou. "Apa kamu bisa melihat sekitarmu?"

"Ya ...," jawabnya dengan suara yang parau.

"Apa kamu ingat namamu?" tanya Sachiro.

"Suna ...." Rintarou menjeda sebentar. "Rintarou."

Sachiro menghela napas lega kemudian berbicara kepada perawat yang lain. Rintarou memerhatikan itu meski tak mengerti dengan apa yang mereka katakan dan situasi apa yang sedang ia alami. Tapi, arah matanya bergerak ke sekeliling ruangan serba putih itu. Mencari sosok Osamu yang tak terlihat dimanapun.

"Dokter?" panggilnya.

"Rintarou jangan terlalu banyak bergerak."

"Dokter dimana Osamu?" tanya Rintarou, tak memperdulikan ucapan Sachiro yang memperingati pria itu untuk tak banyak membuat pergerakan.

Sang dokter tak menjawab, wajahnya terlihat panik mendengar Rintarou bertanya soal Osamu.

"Dokter ... dimana Osamu?"

"Jangan memikirkan hal lain dulu—"

"Dokter, dimana Osamu?" Rintarou menekankan perkataannya. Matanya menatap tajam Sachiro memberinya intimidasi tanpa sadar membuat semua yang ada di ruangan itu merinding.

Ini gawat, mungkin karena baru sadar, kesadaran Rintarou sedikit terbagi dengan alphanya sehingga Rintarou tanpa sadar tak bisa mengontrol dirinya.

"Osamu—"

Brak!

Pintu ruangan itu terbuka. Terlihat Wakatoshi dengan napas yang memburu berada di sana bersama beberapa perawat yang berteriak memperingati pria itu untuk tidak menerobos masuk.

"Wakatoshi, kenapa kamu di sini?" tanya Sachiro terkejut melihat pria alpha itu berada di sana. Semua perawat di sana saling berbisik karena terkejut melihat kedatangan salah satu pembisnis besar Jepang di sana. Bertanya-tanya kenapa Ushijima Wakatoshi berada di sini apalagi terlihat sangat terburu dan sangat panik.

Wakatoshi tak menjawab pertanyaan Sachiro. Pria itu menghampiri Rintarou yang juga terkejut melihat papanya tiba-tiba datang ke mari.

Pasalnya Wakatoshi tidak seharusnya berada di sini sekarang karena kedatangannya akan membuat seluruh orang di rumah sakit ini yang melihatnya akan bertanya-tanya. Tentu akan membuat rahasia yang ia simpan saat ini soal putranya yang masih hidup terbongkar.

Tapi, Wakatoshi bertindak tanpa sadar saat ini.

Mendengar jika jantung Rintarou berhenti berdetak dari Kenjiro membuat Wakatoshi tanpa pikir panjang menuju rumah sakit. Pikirannya kalut karena membayangkan kejadian saat ia mendengar kabar kecelakaan yang akhirnya menewaskan ibu kandung dan kekasihnya.

Wakatoshi tak bisa membayangkan jika dirinya harus kehilangan Rintarou juga.

"Papa ...."

Semua orang menatap Rintarou.

"Papa ... dimana Osamu?"

"Papa?"

Para perawat mulai berbisik terkejut karena Rintarou memanggil Wakatoshi dengan sebutan papa. Sachiro tak bisa melakukan apa-apa selain memberi instruksi agar para perawat berhenti berbisik-bisik dan menyuruh mereka keluar dari ruangan itu.

"Papa ... dimana Osamu?" Rintarou bertanya lagi karena tak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia berusaha duduk, meski dilarang oleh Sachiro tetapi tetap Rintarou lakukan karena ia memiliki tenaga untuk bergerak. "Papa jawab aku!"

"Bukan saatnya kamu memikirkan Osamu, Rintarou. Pikirkan kondisimu—"

"Papa ... aku bermimpi ... Osamu pergi dariku," potong Rintarou, matanya memerah menahan emosi dan terlihat tak sabaran. "Osamu ... Osamu bukan orang asing, aku pernah ketemu Osamu waktu kecil, dia ... dia terluka, dia butuh aku."

Rintarou masih mengingat dengan jelas mimpi itu begitupun dengan perasaannya. Masih terasa dengan sangat jelas.

"Dimana Osamu, Pa?!" Rintarou bertanya lagi, meninggikan suaranya karena sejak tadi tidak ada yang menjawab pertanyaannya dan memberitahu di mana Osamu berada.

Sachiro merasa hawa di dalam ruangan itu mulai mendingin. Feromon Rintarou sepertinya mulai menyebar untuk menekan mereka. Pria beta itu melirik Wakatoshi yang masih diam tak menjawab tapi melihat tangan pria itu yang terkepal, sepertinya Wakatoshi terpengaruh dengan tekanan feromon yang putranya keluarkan.

"Osamu kembali ke Amerika."

Rintarou membola sempurna. "Apa?"

"Osamu tidak lagi menjadi pengawalmu, Papa sudah memerintahkannya kembali ke Amerika bersama Eita."

"Uhuk!"

Sachiro menutup hidungnya ketika sesuatu masuk ke dalam penciumannya. Ini pasti feromon Rintarou, pria alpha itu ... tak bisa mengontrol dirinya karena emosi.

"Bohong ... Papa pasti bohong!" teriaknya bangkit dari ranjang membuat selang infusnya ikut tertarik dan akhirnya jatuh ketika Rintarou menarik kerah kemeja Wakatoshi. "Osamu engga mungkin pergi ke Amerika!"

"He did," jawab Wakatoshi. Memegang lengan putranya dan menarik pria itu menjauhinya sebelum feromin Rintarou mempengaruhi dirinya lebih banyak. "Osamu memutuskan kembali ke Amerika."

"Itu karena Papa yang nyuruh! Osamu ngga mungkin ninggalin Jepang kalau Papa ngga nyuruh dia!" Rintarou menahan lengan Wakatoshi dan menarik kerah pakaian papanya dengan kedua tangannya.

Tenaganya besar sekali.

Mungkin kah ... ini karena alpha di dalam dirinya?

"Selalu ingat jika putramu adalah True-Alpha Dominant."

Iris kecoklatan Rintarou seketika berubah menjadi kuning safir. Taring di giginya mulai terlihat. Ditambah tekanan di dalam ruangan itu mulai mempengaruhi Wakatoshi dan Sachiro yang kini terbatuk sampai mengeluarkan darah.

"Rintarou, kontrol dirimu. Kamu membuat ruangan ini sesak."

"Maka kembalikan Osamu padaku, Pa!"

Wakatoshi tertegun. Kesadaran Rintarou tak terambil oleh inner-wolf miliknya meski dirinya berada dalam perawakan sang serigala. Mungkin kah ... Rintarou dapat mengontrol inner-wolf miliknya?

"Tidak bisa, Rintarou."

Rintarou berdecak.

Buaght!

Rintarou melayangkan tinjuannya pada Wakatoshi sehingga tubuh pria itu terpental menabrak pintu dan menghancurkannya.

"WAHH!!"

Beberapa perawat yang berada di sana berteriak karena melihat kejadian itu. Wakatoshi mengaduh, merasakan tulang punggungnya yang sepertinya patah akibat benturan keras dan wajahnya yang mengeluarkan darah akibat tinjuan itu. Meskipun begitu, Wakatoshi masih bisa bergerak karena dirinya pun seorang True Alpha.

"Don't move."

Deg!

Wakatoshi tak bisa bergerak seolah tubuhnya mengikuti instruksi yang Rintarou katakan. Ia pernah mendengar kekuatan ini, kekuatan yang ditakuti oleh seluruh manusia karena dapat melumpuhkan dan mengatur seseorang sesuka hatinya dengan sekali bicara. Kekuatan yang hanya dimiliki oleh alpha berdarah murni; kekuatan yang hanya dimiliki oleh putranya.

Bukan hanya dirinya saja yang terpengaruh tetapi semua orang yang mendengar suara Rintarou juga terpengaruh.

"Papa, wake up."

Tubuh Wakatoshi bergerak untuk bangkit berdiri, ia dapat melihat Rintarou berjalan menghampirinya dengan darah yang merembes keluar dari tangan kirinya yang terpasang infus.

"Rintarou tindakanmu keterlaluan."

"Aku?" Rintarou menunjuk dirinya sendiri kemudian tertawa. "Bukan aku, tapi Papa!"

"Papa lagi-lagi bertindak semau Papa!"

"Papa melakukan ini untuk dirimu—"

"Untuk aku? Ya! Lagi dan lagi, terus aja bilang kayak gitu!" Rintarou berdiri tepat di hadapan Wakatoshi. "Apa Papa tahu gimana perasaan aku sekarang?"

Rintarou menunjuk dadanya. "Sesek banget."

"Rasanya sakit banget." Rintarou menutup matanya dengan kedua tangannya.

Wakatoshi terdiam tak menyangka jika kepergian Osamu akan berdampak sebesar ini pada Rintarou. Walaupun Wakatoshi tahu jika mereka adalah fated mate tapi mereka berdua belum menyadari itu. Jika tidak dalam pengaruh alphanya, Rintarou tidak mungkin bersikap seperti ini saat mengetahui Osamu pergi darinya.

"Kamu menyukai Osamu?" tanya Wakatoshi ketika sampai pada kesimpulannya.

Hening.

Rintarou tak menjawabnya. Ia tak berani menjawab karena tiba-tiba ia mengingat kembali semua perkataan Tetsurou padanya.

"Lo tertarik sama Osamu, Sun?"

"Lo itu suka sama Osamu, udah jangan ngelak mulu!"

"Gue mau nyadarin lo aja si, sebelum lo nyesel kehilangan Osamu sebelum lo sempet nyatain perasaan lo."

Rintarou merasa matanya basah dan bulir-bulir air mata menumpuk di pelupuk matanya dan tanpa sadar air matanya turun ke pipinya.

Benar.

Rintarou memang menyukai Osamu.

Dia menyukai segala hal tentang pria itu.

Senyumnya, wajahnya, cara bicaranya, masakannya, tawanya, semuanya.

Rintarou sangat menyukai Osamu sampai ... ia tak menyadari itu semua.

Jika ia menyukai Osamu lebih dari yang ia kira.

Mungkin karena Rintarou terlalu percaya diri bahwa Osamu tak mungkin pergi darinya. Tak mungkin meninggalkan dirinya sehingga ia tak perlu mengklaim pria itu sebagai miliknya. Karena ... Osamu juga berjanji akan terus berada di sisinya.

"I won't leave you, Rintarou."

Osamu yang mengatakannya sendiri, dan Rintarou mempercayai itu.

"That's my promise to you."

Karena bagi Osamu, janji tidak boleh diingkari.

Tapi ....

Dor!

Osamu sendiri yang mengingkarinya.

Pandangan Rintarou memudar dan kesadarannya pelahan menghilang. 

Bruk!

Tubuhnya lalu jatuh.

Wakatoshi melihat Kenjiro dan Shoyou yang berada cukup jauh dari mereka menembakkan obat penghilang kesadaran pada Rintarou.

Osamu ....

"Janji harus ditepati."

"Emangnya lo mau liat Osamu pergi dari lo?"

Pecundang.

Rintarou hanyalah pecundang yang tak bisa mengerti tentang perasaannya sendiri dan akhirnya; kehilangan perasaan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu