Langsung ke konten utama

Part 484; Solasta

 Hirugami Sachiro duduk di kursi kerjanya sambil membaca berkas yang perawatnya berikan kepadanya. Berisi hasil pemeriksaan Kuroo Tetsurou setelah pria itu sadarkan diri pagi ini. Di sana tertulis, jika Tetsurou merasa kepalanya sering berdenyut kesakitan—tetapi tak ada luka dalam di sana. Nafsu makan normal dan organ tubuhnya berfungsi dengan baik. Tidak ada masalah dengan ingatannya dan ia bisa beraktivitas seperti biasanya.

Tapi Natsumi bilang padanya, jika Tetsurou menolak untuk bertemu dengan Rintarou.

Sachiro memutuskan untuk memulai sesi pemeriksaan dengan metode tanya jawab atau mengobrol santai dengan pria itu. Sachiro belum bisa memutuskan untuk membawa Tetsurou kembali ke psikiater atau psikolog sampai ia tahu kondisi Tetsurou yang sebenarnya. Sachiro juga perlu tahu apakah ingatan Tetsurou yang terkunci itu kembali terbuka atau tidak. Karena jika Tetsurou berhasil membuka ingatannya kembali, ini adalah fenomena langka yang pertama kali terjadi di bidang kedokteran dan harus Sachiro dan timnya teliti kembali.

Jika Tetsurou harus kembali berkonsultasi dengan psikiater, mereka harus menghubungi psikiater yang sama yang menangani pria itu semasa ia masih kecil.

Tok! Tok!

Ketukan dipintu ruangan Sachiro terdengar. Sachiro menyimpan berkas yang ia baca di atas meja kemudian mempersilahkannya masuk. Pintu itu kemudian terbuka dan menampilkan sosok Kuroo Tetsurou dengan pakian rumah sakitnya di sana.

"Selamat malam, Dokter. Maaf kalau telat dan baru menemui Dokter sekarang."

"Selamat malam, Tetsurou. Silahkan duduk." Sachiro mempersilahkan Tetsurou untuk duduk di hadapannya. "Tidak apa, saya mengerti jika teman-temanmu menjenguk."

Tetsurou duduk di hadapan Sachiro. Hanya ada mereka berdua di sana karena Sachiro ingin memulai sesi pemeriksaannya secara pribadi dengan pria alpha itu. "Baiklah, kita akan memulai sesi pemeriksaan dengan tanya jawab. Kamu bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan tapi jika ada pertanyaan yang tidak ingin kamu jawab, kamu bisa bilang itu." Setelah mendapat anggukan jika ia mengerti Sachiro kembali meraih berkas yang ia simpan di atas meja.

Tetsurou menautkan jari-jarinya untuk menghilangkan rasa gugup yang mendadak hadir. Entah kenapa, ia merasa takut dengan pernyataan apa yang akan Sachiro ajukan padanya. Jika Tetsurou tebak, mungkin ini ada hubungannya dengan ingatan dan sakit kepala yang ia derita.

Sachiro kembali melanjutkan ucapannya, "Melihat dari rekam medismu, sepertinya kamu pernah mengalami kerusakan mental saat berusia tujuh tahun."

Kerusakan mental?

Tetsurou menatap sang dokter yang tak menoleh padanya. Jantungnya perlahan berdebar lebih kencang dari biasanya disusul perasaan tak menyenangkan di dadanya. Ia tak mengerti, jujur Tetsurou tidak tahu jika dirinya memiliki rekam medis seperti itu.

"Penyebabnya diketahui karena saat itu temanmu terbawa ombak dan tenggelam, menyebabkan temanmu koma dan kehilangan ingatannya. Setelah kejadian itu, kamu sering menyalahkan dirimu sendiri sehingga membuat mentalmu rusak. Kamu sempat menerima kunjungan psikiater dan akhirnya ingatanmu terkunci." Sachiro menjeda penjelasannya, menoleh untuk melihat reaksi pria itu.

Tetsurou terlihat mematung di tempat duduknya. Wajahnya menegang dan matanya terlihat berlari gelisah. Menandakan penjelasan mempengaruhi ingatan dan reaksi tubuh pria itu. "Apa kamu mengingat itu, Tetsurou?"

Tetsurou merasa kepalanya kembali berdenyut menyakitkan dan jantungnya yang berdetak menyesakkan sehingga ia sedikit kesulitan bernapas.

Pantai, keramaian, dan suasana malam hari tiba-tiba terlintas di ingatannya.

Lalu ....

Sosok anak kecil yang terbaring tak sadarkan diri.

Sekelebat ingatan yang selalu muncul di kepalanya. Tetsurou tak mengerti mengapa ... tapi rasanya, seperti nyata Tetsurou pernah mengalami itu. Rasa bersalah dan seluruh ingatan itu terasanya nyata di benaknya.

"Tetsurou? Apa terjadi sesuatu padamu?" tanya Sachiro sedikit khawatir melihat reaksi Tetsurou yang melebihi ekspektasinya.

"Kepala ... ugh—sakit ...."

Sachiro memegang denyut nadi pria itu kemudian membawanya untuk duduk di sofa tunggal yang lebih nyaman dari tempatnya duduk sekarang. "Tetsurou, ikuti perintah saya." Sachiro menarik perhatian pria itu padanya. Memerintahkannya untuk memejamkan mata sambil menarik napasnya lebih tenang dan membuangnya perlahan. Sachiro terus mengintruksikan hal yang sama sampai melihat napas pria itu lebih teratur dari sebelumnya.

Tetsurou mengikuti instruksi yang diberikan dengan baik. Bersyukur ia masih memiliki kontrol atas tubuhnya sehingga ia tak kehilangan kesadaran dan tubuhnya. Perlahan rasa sakit di kepalanya mulai berangsur menghilang meski perasaan di dadanya masih terasa berat.

Namun Tetsurou sudah merasa sedikit lebih baik.

"Tetsurou bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Sachiro.

"Sedikit ... lebih baik," jawabnya masih memejamkan matanya.

"Jika kamu lebih nyaman bicara seperti ini tidak apa," ujarnya. "Jadi apa kamu bisa ceritakan apa yang terjadi barusan?"

Tetsurou tak langsung menjawab, ia menarik napas sebentar kemudian menjawabnya perlahan. "Kepalaku sakit ... di dadaku rasanya sesak sekali, Dokter. Aku kesulitan bernapas. Rasanya seperti ... aku melakukan kesalahan dan menyesali itu."

Sachiro menuliskan jawaban yang Tetsurou berikan pada berkasnya. "Apa ada sesuatu yang kamu ingat? Kenapa kamu bisa memiliki perasaan itu?"

"Sesekali aku lihat suasana pantai dan orang-orang ramai di sana. Aku juga ... lihat ada anak kecil yang ... engga sadarkan diri." Tetsurou meneguk salivanya kaku ketika mengucapkan kalimat terakhir.

Mendengar dari ceritanya Sachiro dapat memastikan jika ingatan pria itu perlahan terbuka kembali. Tapi sepertinya, ada sesuatu di dalam dirinya yang masih menahan itu—sehingga Tetsurou menderita sakit kepala ketika ingatannya muncul kembali.

Ini situasi yang cukup rumit.

Sachiro menghelakan napasnya pelan sambil menyimpan berkas yang ia pegang di mejanya kembali. "Baiklah, cukup sampai di sini dulu sesi pemeriksaan kita. Nanti, akan aku berikan jadwal pemeriksaan padamu kembali."

Tetsurou kembali membuka matanya dan menatap Sachiro. Pria itu tak mengatakan apa-apa lagi, namun Tetsurou sedikit penasaran dengan apa yang Sachiro katakan sebelumnya.

Tentang kerusakan mental yang pernah dialaminya dulu.

"Dokter, aku mau tanya."

"Soal kerusakan mental yang kamu derita?" Seperti tahu apa yang akan Tetsurou tanyakan, Sachiro kemudian menjawab, "Itu benar, waktu kamu berusia tujuh tahun, kamu mengalami itu seperti apa yang saya katakan sebelumnya. Temanmu yang tenggelam, mungkin anak kecil yang kamu lihat dalam ingatanmu, itu adalah Rintarou dan salah satu temanmu juga."

Tetsurou menegang kembali. Jadi ... anak kecil diingatannya itu adalah ... Rintarou?

"Sepertinya terjadi sesuatu padamu ketika saat itu. Tapi ketika kejadian itu terjadi, ibumu bilang jika kamu sedang tertidur," ceritanya. "Untuk itu sampai sekarang tidak ada yang tahu penyabab kenapa kamu bisa sampai menyalahkan dirimu sendiri."

Tetsurou menundukkan pandangannya seraya memegang sebelah kepalanya yang mulai terasa berdenyut lagi. Tak menyangka jika ia mengalami hal seperti itu; terlebih jika Rintarou juga mengalami kecelakaan semasa kecil dan lupa ingatan.

Tetsurou memang sedikit mengingat ketika masih kecil, ia dan Rintarou adalah teman kecil karena rumah mereka yang bertetangga. Ia menemani Rintarou yang saat itu baru keluar dari rumah sakit, mengajaknya bicara, dan masuk ke dalam klub voli yang sama. Tanpa tahu jika Rintarou yang keluar dari rumah sakit saat itu karena kecelakaan.

Mereka menjalani hari-hari tanpa mengingat kejadian itu sama sekali. Semakin Tetsurou ingat, semakin masuk akal ucapan Sachiro jika dirinya mengunci ingatannya sendiri.

Tapi ... siapa anak kecil yang lain?

"Tidak perlu memaksakan diri, Tetsurou." Sachiro menepuk sebelah pundak pria itu membuat Tetsurou menatapnya. Senyum tipis sang dokter terbit. "Kita lakukan ini perlahan, jangan sampai itu menyakiti tubuhmu dan wolf pada dirimu."

Tetsurou mengangguk. "Baik Dokter."

Setelah sesi pemeriksaan itu berakhir, Tetsurou kembali ke ruang inapnya yang di sana terlihat ibunya sedang duduk di sofa sambil mengupas apel untuknya. Melihat anaknya telah kembali, wanita berumur empat puluh tahun lebih itu menyapa putranya. "Sudah selesai, Tetsu-chan?"

"Iya," jawabnya kemudian duduk di sofa di samping ibunya.

"Eh jangan duduk di sini, tidur aja di kasur."

"Engga papa, aku udah sehat kok," jawabnya sambil merebahkan punggungnya di sandaran sofa.

Natsumi hanya menghela napas dan membiarkan putranya melakukan apa yang ia mau. Tetsurou itu sedikit keras kepala ngomong-ngomong. "Gimana pemeriksaannya dengan Dokter Hirugami?"

"Yah ... aku rasa lancar." Tetsurou sebenarnya tak yakin dengan hasilnya. Tapi, melihat senyum sanga dokter yang mengatakan jika mereka akan melakukan penyembuhan untuk membuka ingatannya kembali dengan perlahan membuat Tetsurou sedikit berpikir jika semuanya lancar.

"Syukurlah kalau begitu."

Tetsurou melirik ibunya yang kembali mengupas apel dengan teliti. Melihatnya, membuat Tetsurou kembali memikirkan ucapan Sachiro.

"Ibu?"

"Ya?"

"Dokter Hirugami udah bilang semuanya padaku."

Gerakan mengupasnya terhenti di udara. Natsumi menatap putra semata wayangnya kemudian menyimpan pisau dan apel tersebut di atas piring. "Ingatanmu sudah kembali?"

Tetsurou menggeleng. "Dokter Hirugami bilang untuk pelan-pelan."

"Ibu, apa ibu mau cerita apa yang terjadi saat itu dan apa yang terjadi setelah Suna kecelakaan?" tanya Tetsurou, meminta ibunya untuk sedikit menceritakan apa yang terjadi saat itu. Mungkin akan membantu Tetsurou untuk membuka ingatannya kembali.

"Waktu itu malam hari, yang ibu tahu, Rin-chan menyelamatkan Samu-chan yang terbawa ombak saat itu. Mereka dilarikan ke rumah sakit. Samu-chan sadarkan diri dua hari kemudian sedangkan Rin-chan koma dan baru sadar satu bulan kemudian lalu dinyatakan hilang ingatan. Ibu ... juga tidak terlalu ingat tapi tak lama setelah Samu-chan sadar, ua dibawa pulang oleh orang tuanya."

"Samu-chan?" gumamnya, tampak tak asing dengan nama itu.

"Dia salah satu putra dari pengunjung resort kita, Tetsu-chan. Kalau tidak salah ... dia seusiamu," jawab ibunya. "Ibu juga lupa mama aslinya karena kalian sering menyebut mereka Samu dan Tsumu. Kalian sering bermain bersama."

Samu dan Tsumu? Kenapa ... sepertinya Tetsurou pernah mengingat nama itu—

"Tetsu-kun!"

"Ayo kita main voli!"

"Tetsu-kun orang yang baik."

Ingatan lain tiba-tiba terlintas diingatannya. Remang dan tak jelas, tetapi suara dan perasaan itu terasa nyata di benaknya.

"Tetsu-chan?" Natsumi memanggil, memegang pundak putranya yang sedari tadi diam saja. "Kamu baik-baik saja, sayang?"

"Ibu ...." Tetsurou menatap ibunya. "Apa ibu bisa menceritakan ciri khas anak itu?"

Natsumi berpikir sebentar mengingat kembali sosok anak kecil itu. "Mereka kembar, ibu ... juga tidak bisa membedakan mereka. Ah maaf Tetsu-chan, ibu lupa karena sudah lama berlalu tapi Samu-chan terlihat lebih pendiam dari Tsumu-chan."

"Apa ibu punya foto mereka?"

Natsumi berpikir lagi. "Ibu tidak ingat tapi ... sebaiknya kita periksa beberapa album foto di gudang. Siapa tahu ada beberapa foto di sana."

Benar, satu-satunya cara agar Tetsurou dapat mengingat kembali adalah dengan kembali ke rumahnya.


*


*


*


Semi Eita mengikuti langkah seorang alpha bernama Kita Shinsuke yang ditugaskan untuk menemaninya selama di Jepang oleh Sakusa Hiroshi. Sahabat ibunya sekaligus telah ia anggap sebagai pamannya sendiri telah tiba di kediamannya setelah melakukan perjalanan bisnis dan menunggu Eita di ruangannya.

Ruangan besar itu terlihat lenggang karena hanya ada satu orang pria yang tengah duduk memandang langit malam kota Tokyo dari balik jendela. Melihat kedatangan Eita, pria paruh baya itu berbalik dan tersenyum hangat menyambut kedatangannya. "Selamat datang, Eita-kun."

Pria itu memeluk singkat Eita. "Malam, Paman."

"Malam juga, Eita-kun." Kemudian menyuruhnya duduk di sofa mewah yang berada di samping meja kerjanya. Pria itu kemudian meminta Shinsuke untuk menyiapkan teh dan cemilan untuk mereka—sekaligus menjadi kode agar bawahannya itu tak mengganggu perbincangan mereka.

Setelah Shinsuke pergi, Eita tanpa basa-basi bertanya pada pria itu. "Apa maksudnya ini, Paman?"

Hiroshi tertawa pelan. "Kamu tidak berubah ya, selalu to the point jika bicara." Hiroshi kembali menatap pria alpha di sampingnya. "Bagaimana menurutmu tentang kekasih cucuku?"

"Dia ...." Eita merasa tenggorokannya kelu. "Dia mirip sekali—"

"Dengan Osamu-kun?" potong Hiroshi.

Eita terkejut mendengar Hiroshi tahu nama seseorang yang ia maksud. "Jangan terkejut seperti itu, Eita-kun. Siapa yang tidak tahu dengan bocah pembunuh yang telah kamu ciptakan itu?"

"Bocah itu yang telah membantumu agar bisa meraih posisimu di port dan membuka usahamu yang lain. Bocah itu, ya namanya Osamu-kun, bukan? Kamu mendapatkannya di pelelangan dan Wakatoshi-kun yang membelinya. Dan selama ini, kamu merawat Osamu-kun agar menjadi alat pembunuh yang kuat untuk dirimu."

Eita tak akan terkejut jika Hiroshi mengetahui tentang Osamu tapi ia tak menyangka jika Hiroshi mengenal wajah Osamu seperti apa.

"Sampai saat ini, kamu tidak mengetahui masa lalu bocah itu, bukan?" Eita tak menjawab tapi dari reaksinya Hiroshi tahu jika Eita memang belum mengetahui itu. "Eita-kun, paman bisa memberitahumu jika kamu menginginkannya."

Walaupun bicara seolah Hiroshi akan memberikan informasi itu secara percuma, tapi Eita tahu jika ada sesuatu di balik itu yang ingin Hiroshi dapatkan darinya. Untuk itu, Eita bertanya. "Apa yang Paman mau dariku?"

Hiroshi tersenyum mendengarnya. "Tidak ada, Paman hanya sedang membantumu."

Kening Eita mengekerut bingung.

"Kamu menginginkan Osamu-kun kembali padamu, bukan?"

"Paman—"

"Kamu bisa mendapatkannya kembali tanpa harus merebut paksa dari kakakmu."

"Apa itu?" tanya Eita, penasaran dan cukup tertarik dengan tawaran yang Hiroshi berikan padanya karena ia memang sedang memikirkan cara untuk membawa Osamu kembali padanya tanpa harus merebut paksa dari Wakatoshi—mengingat jika kakaknya lah yang membeli Osamu saat itu.

Hiroshi tersenyum senang dalam hati. "Satu informasi ini dapat kamu gunakan untuk membawa Osamu-kun kembali padamu."

"Osamu-kun dan kekasih cucuku; Atsumu-kun, mereka adalah saudara kembar."

Sesuai dugaannya.

Pria omega itu dan Osamu memiliki wajah yang sama percis meskipun dengan warna rambut dan mimik wajah yang berbeda. Tak ada alasan lain yang bisa menggambarkan hubungan mereka selain saudara kembar.

"Mereka adalah putra dari Miya Katsuo salah satu pembisnis di Amerika yang tewas dua belas tahun lalu karena diduga akibat adanya pembunuhan berencana."

"Dan Wakatoshi-kun sempat menjadi tersangka atas pembunuhan berencana itu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu