Langsung ke konten utama

Part 455; Solasta

 "Kageyama-kun, apa kamu punya impian?"

Suara ini ....

Suara dengan kalimat yang sama yang selalu hadir dalam setiap mimpinya. Seperti membawa Tobio kembali dalam ingatan masa lalunya yang selalu berusaha ia lupakan. Namun, setiap kali Tobio mencoba, semua kenangan itu kembali hadir dalam mimpinya, seolah menolak Tobio untuk melupakannya.

Apa sekarang Tobio sedang bermimpi lagi?

"Marin nee-chan mengatakannya saat sesi belajar tadi, uh! Kageyama-kun pasti tidak mendengarkan."

Suara itu semakin jelas, disusul penglihatannya yang semakin jelas menampilkan dua orang anak laki-laki yang duduk di lantai ruang bermain dengan berbagai mainan berserakan di lantai. Beberapa anak lain terlihat sedang bermain di sekitar mereka, namun tak mengganggu percakapan mereka sama sekali.

Ingatan ini ....

"Marin nee-chan bilang kalau kita harus punya impian, hidup kita akan jadi lebih menyenangkan karena memiliki tujuan, begitu katanya."

"Jadi, Kageyama-kun, apa kamu punya impian?"

Pertanyaan yang sama.

Namun sampai saat ini, Tobio tak tahu apa jawaban yang ia berikan.

Karena ia melupakannya.

Byur!

Kageyama Tobio langsung terbangun begitu wajahnya disiram dengan air dingin. Rambut basahnya menutupi matanya sehingga ia tak bisa melihat dengan jelas. Ketika kedua tangannya bergerak untuk menyibakkan rambutnya, sesuatu menahan pergelangan tangannya dan detik berikutnya ia baru sadar jika lengannya sedang diikat di atas kepalanya.

Badannya seketika terhuyung di samping namun tubuhnya tak tumbang karena besi mengikat tangannya ke atas. Rasa pegal, nyeri, dan dinginnya ruangan itu kembali menyerangnya ketika kesadarannya mulai penuh. Mengingatkannya kembali jika dirinya berhasil ditangkap oleh pekerja Ushijima beberapa hari lalu.

Entah kapan itu, Tobio tidak mengingatnya.

"Kau sudah sadar?"

Tobio mendengar itu, namun kerongkongannya kering sehingga ia tak bisa mengeluarkan suaranya. Rambutnya masih menutupi penglihatannya sehingga ia tak bisa melihat siapa dan berapa orang yang datang hari ini untuk menyiksanya kembali agar ia buka suara dan mau menjawab pertanyaan yang mereka ajukan.

"Kau punya mulutkan? Jawab brengsek!"

Buaght!

"Uhuk!"

Tobio terbatuk begitu merasakan perutnya ditonjok. Tubuhnya terhuyung kembali dengan darah segar keluar dari mulutnya. Darah yang sudah mengering kini bertambah kembali, menghiasi tubuh bagian atasnya yang tak tertutup sehelai benang pun.

"Hoek!"

Kerongkongannya semakin kering. Ia tak bisa mengeluarkan suaranya.

"Sudahlah, kau membuatnya tidak bisa bicara bodoh."

"Hei kau ingin minum?"

"Bagaimana dengan minum air kotoran?"

Suara tawa terdengar setelahnya. Tobio dapat mendengar tiga suara yang berbeda menandakan jika mereka ada tiga orang. Rambutnya tiba-tiba di jambak sehingga ia dapat melihat wajah dari tiga orang yang tertawa tadi. "Hei bung, apa kau tidak lelah dengan semua ini? Ini akan selesai jika kau menjawab pertanyaan ketua."

"Tapi kau membuatnya semakin sulit, benar-benar—"

Kriet ....

Suara pintu terbuka menghentikan kepalan tangan mereka yang sudah siap untuk memukulnya kembali. Melihat siapa yang datang ketiganya langsung melepaskan Tobio sehingga pria itu kembali terhuyung ke belakang. Tobio tidak bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan karena penglihatan memburam. Tapi, dia dapat mendengar sebuah suara—

"Kalian bisa keluar."

—yang sangat familiar di telinganya.

Tobio mengangkat wajahnya dan menajamkan penglihatannya untuk melihat—dan memastikan apakah pemilik suara itu adalah milik seseorang yang selalu hadir dalam mimpinya, atau bukan. Suara milik seseorang yang selalu ia harapkan agar bisa Tobio temui kembali.

Dalam pandangan buramnya ia dapat melihat tiga orang pergi dari ruangan ini disusul suara pintu tertutup setelahnya. Menyisakan tiga orang lagi yang tak bisa Tobio lihat dengan jelas meski dirinya berusaha untuk melihatnya dengan jelas.

Pandangannya kabur.

Dan Tiga orang itu berada pada jarak yang cukup jauh darinya.

Tobio berusaha bersuara untuk memanggil sebuah nama. Namun, meski bibirnya bergerak, tak ada suara yang mau keluar dari mulutnya. Hanya napas dan suara kosong yang berhasil keluar.

"Hi ...."

Tobio melihat salah satu dari tiga orang itu berjalan mendekatinya.

"... na ...."

Sehingga Tobio perlahan dapat melihat wajah seseorang itu dengan jelas.

"... ta ...."

Benar.

Itu memang suaranya.

Matanya membola melihat jika Hinata Shoyou kini berdiri di hadapannya. Pria berambut oranye bertubuh kecil dengan bola mata cerah yang selalu bersinar ketika dirinya sedang menceritakan banyak hal padanya. Pria yang memiliki senyum dan tawa yang indah—yang selalu ia rindukan setiap saat.

Pria yang ia cari selama ini.

Tobio ingin memanggil namanya tetapi lagi-lagi suaranya tak keluar. "Mereka tidak memberimu minum?"

"Kageyama-kun."

Shoyou meraih sebotol minum dekatnya kemudian membantu Tobio meneguk air dalam kemasan botol itu. Kerongkongannya yang kering mulai terasa dingin ketika merasakan air mengalir masuk sehingga ia dapat merasakan suaranya keluar sedikit demi sedikit. Pandangannya yang memudar mulai terasa jelas kembali sehingga ia dapat melihat sekitar dengan jelas.

"Fokus tubuhnya melemah, dia dehidrasi." Suara Koshi terdengar, menyadari kondisi Tobio dari tempatnya berdiri.

"Dia tidak mungkin bisa menjawab pertanyaanku meski kita sudah membawamu ke hadapannya, Hinata," ujar Daichi. "Apa sebaiknya kita rawat dia?"

"Setelah kamu menyiksanya?" tawa Koshi terdengar, ia menepuk pundak Daichi tanpa menghentikan tawanya. "Aku sudah bilang kan untuk tidak terlalu menyiksanya? Kageyama tidak akan membuka suaranya jika kita tak membawa Hinata kemari."

"Anak buah Asahi yang melakukannya, Suga."

"Tapi atas perintahmu, kan?"

"Hinata ... itu ... kamu, kan?"

Suara Tobio menghentikan percakapan Daichi dan Koshi di sana. Mereka tampak terkejut mendengar suara Tobio yang sudah terdengar jelas meski sedikit terputus-putus. Aura matanya yang kosong pun terlihat sedikit bercahaya, terfokus pada satu objek di hadapannya yang sedari tadi diam sambil meremas botol kemasan yang sudah habis di dalam genggamannya.

"Hinata ...."

Tapi, Shoyou tidak menjawabnya.

Pandangannya tertunduk tak berani menatap sosok Tobio di hadapannya.

Daichi dan Koshi menatap mereka dari tempat mereka berada. Tak ikut campur dan membiarkan Shoyou untuk berhadapan kembali dengan Tobio dan menyelesaikan masalah mereka. Meski begitu, mereka cukup khawatir sehingga memutuskan untuk tetap di sana untuk mengawasi, takut jika terjadi sesuatu dengan mereka.

Apalagi melihat tubuh Shoyou yang bergetar.

Seperti menahan sesuatu di dalam sana.

Kretek!

Suara remasan di genggaman tangannya terdengar. Shoyou menggigit bibirnya saat merasakan jantungnya berdetak menyakitkan ketika dirinya melihat kondisi Tobio saat ini. Sekujur tubuhnya dipenuhi lebam dan luka yang sudah kering namun ditimpa oleh luka baru yang muncul hari ke hari.

Selama Tobio di sana, selama itu pula pria itu disiksa agar membuka mulutnya.

Tapi Tobio tidak mau membuka mulut.

Sebelum ia dapat melihat Shoyou.

Kenapa ....

Kenapa Tobio bersikeras ingin menemuinya?

Sampai ia harus mendapatkan luka seperti ini?

Shoyou meremas dadanya yang berdenyut. Kepalanya pening mendadak begitu ingatannya memutar kembali memori masa lalunya yang sudah berusaha untuk ia lupakan. Ketika dirinya masih berada di panti itu, bersama Kageyama Tobio—dan sebelum pria itu pergi meninggalkan dirinya.

Dan tak menempati janjinya.

"Kenapa ...." Shoyou menarik napasnya. "Kenapa kamu ingin sekali bertemu denganku?" Shoyou mengangkat pandangannya, menatap sosok di hadapannya dengan irisnya yang bergetar dan basah. "Kamu ... kamu mau apa?"

"Aku ... merindukanmu, Hinata."

Mendengar jawaban Tobio membuat Shoyou terdiam. Begitu juga dengan Daichi dan Koshi yang mendengar mereka dari belakang. Mendengarkan ucapan Tobio selanjutnya. "Aku ... aku sangat ... merindukanmu."

"Kamu tidak berhak memiliki rasa rindu padaku seperti itu," jawab Shoyou.

Tobio membola mendengarnya. "Apa—"

"Aku sudah melupakanmu, sejak kamu pergi, sejak kamu tidak menempati janjimu."

Tobio tambah terkejut mendengarnya.

Shoyou telah melupakannya?

Melupakan dirinya?

"Apa maksudmu Hinata ... aku ... aku tidak sekalipun melupakan kamu—"

"Kageyama-kun, apa kamu punya impian?"

'Kamu tidak menempati janjimu.'

"Apa kamu berjanji, Kageyama-kun?"

'.... tidak menempati janjimu.'

"Aku akan menunggumu."

'... tidak ... janjimu.'

Deg!

Apa itu ....

Apa ... yang Tobio janjikan pada Shoyou?

Melihat reaksi Tobio, Shoyou tahu jika Tobio sepertinya tak mengingat janji mereka sehingga pria itu tak menyadari apa maksud dari ucapannya.

Tapi, Shoyou tak mau menjelaskan, biarkan Tobio mengingatnya sendiri. "Sekarang, kamu adalah musuhku." Tobio menatap Shoyou kembali. "Hubungan kita sekarang adalah musuh, Kageyama. Aku adalah salah satu ketua divisi, bekerja untuk Tuan Besar Ushijima. Dan kamu bekerja untuk Keluarga Sakusa."

"Kita tak lagi berada dalam satu tujuan yang sama, Kageyama."

"Jadi ...."

Shoyou menodongkan pistol miliknya tepat di kepala Tobio. "Aku tidak segan untuk membunuhmu, Kageyama-kun."

"Hina—" Daichi menahan Koshi yang akan menghampiri mereka untuk menghentikan Shoyou yang tiba-tiba bertindak di luar dugaan mereka. Tobio tidak boleh mati sebelum mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan dari pria alpha itu.

Akan jadi sia-sia jika sampai Shoyou membunuh Tobio. "Daichi, kita harus menghentikan Hinata."

"Tenang, Suga."

Bukan tanpa alasan Daichi menahan Koshi untuk menghampiri mereka.

Daichi mempercayai Shoyou jika pria itu tidak mungkin bertindak gegabah, karena Tuan Besar Ushijima Wakatoshi sendiri yang membawa Shoyou dan mempercayai jabatan itu padanya.

Juga, Daichi percaya, jika tindakan Shoyou sekarang hanya untuk mengetes dirinya sendiri.

Apakah Shoyou masih memperdulikan Tobio atau tidak.

Tapi ....

Ceklek!

"HINATA!"

Dor!

Suara tembakan dan teriakan Koshi menggema di dalam ruangan itu. Koshi hampir lari menghampiri Shoyou sebelum tangannya kembali di tahan oleh Daichi dan kedua matanya melihat rantai yang mengikat kedua tangan Tobio ke atas putus sehingga tubuh Tobio jatuh ke lantai.

Tembakan itu mengarah pada rantai.

Shoyou menjatuhkan pistol yang ia genggam kemudian menghampiri Tobio yang jatuh terduduk di lantai. Kepalanya menegadah saat Shoyou memegang pundaknya kemudian membungkuk di hadapannya sehingga pandangan mereka bertemu.

Tobio dapat melihat iris kecoklatan itu bergetar dan basah. Shoyou meremas kedua bahu telanjangnya, menunduk saat isak tangisnya mulai terdengar.

"Impianku?"

"Iya, impian. Apa impian kamu, Kageyama-kun?"

"Impianku hidup bersamamu selamanya, Hinata. Aku akan melindungimu, jadi kamu tidak perlu khawatir bakal hidup sendirian karena aku akan selalu berada di sisimu."

"Apa kamu berjanji, Kageyama-kun?"

"Aku berjanji."

Tobio ingat sekarang.

Janjinya yang tak pernah ia tepati karena dirinya tak pernah kembali sejak dirinya diadopsi saat itu. Meninggalkan Shoyou sendirian di panti sampai berita kebakaran itu muncul.

Tobio pikir, jika Hinata Shoyou telah tewas saat itu.

Tapi melihatnya kembali di hotel saat itu ....

"Kita tak lagi berada dalam satu tujuan yang sama, Kageyama."

"Putra Ushijima Wakatoshi."

Shoyou, Daichi, dan Koshi langsung menatap Tobio ketika mendengar suara pria itu. "Tuan Besar Sakusa berencana membunuh putra Ushijima Wakatoshi."

"Beserta Ushijima Wakatoshi."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat b...

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel...

Part 45; Solasta

 Sudah hampir dua jam Rintarou duduk diam di sofa kamarnya sambil memandang Osamu yang masih terlelap di atas tempat tidur miliknya. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan sadar dari pingsannya sejak terakhir kali Rintarou coba membangunkannya. Telapak kakinya bergerak tak sabar—gemas ingin membangunkan pria itu agar ia bisa memastikan apakah ada luka lain yang Osamu dapatkan dari hasil entah apa yang pria itu lakukan sampai membuatnya babak belur begini. Melihat masih tak ada tanda-tanda Osamu akan membuka matanya, Rintarou menghela napas gusar. "Serius … lo kapan bangun sih, Sam?" gumamnya mengacak rambut belakangnya frustasi lalu bangkit berdiri dari posisinya. Menghampiri Osamu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau lo kenapa-kenapa, bisa-bisa gue yang disalahin Papa tau?" "Mana Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang." "Kenapa juga Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang?" "Mana gue ngga boleh kemana-mana lagi ... aneh banget....