Saat itu sedang turun hujan.
Kageyama Tobio berjalan sendirian menyusuri jalanan yang terlihat sepi menuju tempat tinggalnya di salah satu pemukiman di kota Tokyo dengan menggunakan sebuah payung yang ia dapatkan dari teman satu klubnya. Ia tak menyangka jika hari ini akan turun hujan, menyebabkan aktivitas klub volinya terpaksa harus diliburkan karena hari ini adalah jadwal klub mereka untuk berlatih di luar lapangan—karena gedung olahraga sedang digunakan klub basket selama seminggu ini dan gedung olahraga yang lain sedang diperbaiki.
Jika klub tidak ada latihan maka Tobio akan mendapatkan waktu luang dari pukul tiga sore. Tobio melirik ponselnya yang menampilkan jam tiga lewat tigapuluh menit yang artinya waktu luangnya tersisa duajam lagi sampai waktunya ia mencari makan malam.
Berdecak, Tobio tak tahu harus dengan apa ia menghabiskan waktu luangnya selain dengan bermain voli. Semua CD pertandingan voli yang ia punya pun dipinjam Haiba Lev—anggota baru kelas satu di klub voli yang memiliki tinggi badan hampir dua meter. Ia baru dalam bermain voli, sehingga Tobio merekomendasikan laki-laki itu untuk menonton pertandingan voli.
Lalu, apa yang harus ia lakukan?
Setelah lama berpikir dan tak menemukan solusi, tak disangka tahu-tahu Tobio sudah tiba di depan gerbang rumahnya. Helaan napasnya terdengar sebelum ia membuka pintu dan masuk ke dalam perkarangan rumahnya.
Gelap.
Hanya kegelapan yang menyapa Tobio ketika ia membuka pintu rumah. Tobio mencari saklar lampu, menghidupkannya, kemudian membuka sepatunya yang basah kemudian menyimpannya di dalam rak dan tak lupa menyimpan payung di pojok dinding. Tanpa mengucapkan salam, Tobio masuk lebih dalam dan menyimpan tasnya di atas sofa seraya merebahkan dirinya di sana.
Toh, tidak ada juga yang akan menjawab salamnya.
Tobio menutup kedua matanya dengan sebelah tangan mencoba menyamankan posisinya untuk sedikit merelaksasikan tubuhnya dan juga pikirannya. Berusaha tak memikirkan apapun dan memilih untuk sedikit bersantai di sana. Mungkin dengan begitu akan sedikit membantu menghabiskan waktunya.
Namun, meskipun ia memejamkan matanya seolah sedang beristirahat isi kepalanya tak demikian. Ia terus memikirkan kejadian di klub voli beberapa waktu lalu saat pelatih memutuskan untuk memasukkannya ke dalam pemain utama. Menggantikan kakak kelasnya yang sudah menjadi setter sejak kelas satu.
Kakak kelasnya; Kozume Kenma tak keberatan dengan itu, tapi Tobio tak demikian. Ia merasa tak enak dengannya. Menggantikan posisi seseorang yang sudah dipercayai oleh seluruh anggota tim bukanlah hal mudah—terlebih dia adalah siswa baru; anggota baru; yang belum lama berada di tim ini.
Meski semua orang mengakui kehebatannya dalam bermain voli tetapi Tobio tak merasa demikian. Ada kalanya, ia merasa dirinya bukanlah apa-apa dibandingkan orang lain dan merasa takut jika ia akan merusak timnya sendiri.
Walaupun dalam hatinya; Tobio sangat mencintai voli melebihi apapun.
Matanya yang terpejam kini perlahan tebuka. Menatap langit-langit ruang televisi sambil mendengarkan suara gemericik hujan yang terdengar dari dalam sana. Lagi. Tobio mulai merasakan rasa sesak ini, ketika ia merasa kalah dan bukan tandingan dari orang itu.
"Sial ... kenapa gue harus mikirin kakak sih?"
Tobio bergumam, bangkit dari duduknya untuk menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa dan kembali menatap langit-langit ruang televisi itu.
Kageyama Tobio memang mencintai voli.
Tapi itu semua ia lakukan karena seseorang.
Karena kakaknya.
Ting nong!
Bel rumahnya berbunyi. Keningnya mengekerut bertanya-tanya siapa yang mengunjungi rumahnya di jam segini. Tobio bangkit dari duduknya menuju pintu rumah untuk melihat siapa yang datang.
Saat pintu terbuka tubuh Tobio seketika membeku melihat seorang pria paruh baya berdiri di sana dengan seorang bodyguard di belakangnya. Pria yang sangat Tobio kenali—dan sudah lama tidak Tobio jumpa. Pria yang sudah sepuluh tahun ini pergi meninggalkannya dan ibunya, membawa kakaknya tanpa berpamitan padanya sekalipun.
Sosok itu ....
Setelah sekian lama ... untuk apa ia datang ke mari?
"Kamu sudah besar ya, Tobio-kun."
Tobio bercak pelan mendengar sapaan pria itu. "Ngapain anda kemari?"
"Wow ... apa itu cara yang baik untuk seorang anak bicara pada ayahnya, Tobio-kun? Apa mendiang ibumu tidak mengajarimu sopan santun?" Pria tertawa pelan melihat putranya yang tampak tak suka dengan kedatangannya ini. "Tobio-kun ada yang ingin ayah bicarakan denganmu."
Tobio menggeleng tak ingin mendengar apapun dari pria yang kenyataannya adalah ayah kandungnya itu. "Maaf, ayahku sudah mati sepuluh tahun lalu."
Ayah berdesis pelan mendengar ucapan kasar dari anak bungsunya itu. "Ayah tahu kamu benci ayah, Tobio-kun. Tapi ayah benar-benar harus memberitahumu ini." Ayah cepat menahan pintu yang akan Tobio tutup, sebelum anak laki-laki itu pergi darinya. "Ini tentang Tooru."
Mendengar nama kakaknya disebut, Tobio menghentikan dirinya yang akan menutup pintu. Pandangannya kembali tertuju pada ayahnya. Menunggu apa yang ingin ayahnya berita tahu tentang kakaknya.
"Kakakmu, dia sudah meninggal seminggu yang lalu."
Deg!
Tobio kembali membatu, jantungnya berdebar kencang mendengar ucapan ayahnya yang terdengar sangat serius tapi tak bisa Tobio percayai dengan mudah.
Kakaknya ... dia ... tidak mungkin ....
Pegangan di pintunya mengendur, wajahnya mengeras dengan matanya yang mulai berair menatap sosok ayahnya dan tanpa diduga Tobio menarik kerah baju ayahnya. "Bohong ... kakak ... kakak tidak mungkin—"
"Ayah bisa antarkan kamu ke makamnya jika kamu tidak percaya," potongnya, tanpa perlawanan meskipun kerah bajunya ditarik dengan kencang oleh putranya sendiri. "Ayah kemari mencarimu karena permintaan kakakmu."
"Tooru meminta ayah untuk membawamu kembali ke rumah, Tobio-kun."
Cengkraman di kerah baju ayahnya mengendur. Tobio merasa tubuhnya tak bertenaga dan pikirannya mendadak keruh tak bisa berpikir apa-apa lagi mendengar berita yang mengejutkan ini.
Setelah ibu meninggalkannya lalu ... kakak?
Air matanya meluncur deras tanpa bisa ia cegah. Kedua tangannya berusaha menutup dan menghapus air mata itu meski isak tangisnya mulai terdengar. Dadanya sesak, ia sedikit kesulitan bernapas. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga untuk berpijak kembali.
Tak ada yang bisa Tobio lakukan selain menangis.
Menangisi harap dan tujuannya yang kini tak dapat menuju titik untuk terwujud.
[To be Continue .... ]
Komentar
Posting Komentar