Langsung ke konten utama

Part 1; Anemoia

 Saat itu sedang turun hujan.

Kageyama Tobio berjalan sendirian menyusuri jalanan yang terlihat sepi menuju tempat tinggalnya di salah satu pemukiman di kota Tokyo dengan menggunakan sebuah payung yang ia dapatkan dari teman satu klubnya. Ia tak menyangka jika hari ini akan turun hujan, menyebabkan aktivitas klub volinya terpaksa harus diliburkan karena hari ini adalah jadwal klub mereka untuk berlatih di luar lapangan—karena gedung olahraga sedang digunakan klub basket selama seminggu ini dan gedung olahraga yang lain sedang diperbaiki.

Jika klub tidak ada latihan maka Tobio akan mendapatkan waktu luang dari pukul tiga sore. Tobio melirik ponselnya yang menampilkan jam tiga lewat tigapuluh menit yang artinya waktu luangnya tersisa duajam lagi sampai waktunya ia mencari makan malam.

Berdecak, Tobio tak tahu harus dengan apa ia menghabiskan waktu luangnya selain dengan bermain voli. Semua CD pertandingan voli yang ia punya pun dipinjam Haiba Lev—anggota baru kelas satu di klub voli yang memiliki tinggi badan hampir dua meter. Ia baru dalam bermain voli, sehingga Tobio merekomendasikan laki-laki itu untuk menonton pertandingan voli.

Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Setelah lama berpikir dan tak menemukan solusi, tak disangka tahu-tahu Tobio sudah tiba di depan gerbang rumahnya. Helaan napasnya terdengar sebelum ia membuka pintu dan masuk ke dalam perkarangan rumahnya.

Gelap.

Hanya kegelapan yang menyapa Tobio ketika ia membuka pintu rumah. Tobio mencari saklar lampu, menghidupkannya, kemudian membuka sepatunya yang basah kemudian menyimpannya di dalam rak dan tak lupa menyimpan payung di pojok dinding. Tanpa mengucapkan salam, Tobio masuk lebih dalam dan menyimpan tasnya di atas sofa seraya merebahkan dirinya di sana.

Toh, tidak ada juga yang akan menjawab salamnya.

Tobio menutup kedua matanya dengan sebelah tangan mencoba menyamankan posisinya untuk sedikit merelaksasikan tubuhnya dan juga pikirannya. Berusaha tak memikirkan apapun dan memilih untuk sedikit bersantai di sana. Mungkin dengan begitu akan sedikit membantu menghabiskan waktunya.

Namun, meskipun ia memejamkan matanya seolah sedang beristirahat isi kepalanya tak demikian. Ia terus memikirkan kejadian di klub voli beberapa waktu lalu saat pelatih memutuskan untuk memasukkannya ke dalam pemain utama. Menggantikan kakak kelasnya yang sudah menjadi setter sejak kelas satu.

Kakak kelasnya; Kozume Kenma tak keberatan dengan itu, tapi Tobio tak demikian. Ia merasa tak enak dengannya. Menggantikan posisi seseorang yang sudah dipercayai oleh seluruh anggota tim bukanlah hal mudah—terlebih dia adalah siswa baru; anggota baru; yang belum lama berada di tim ini.

Meski semua orang mengakui kehebatannya dalam bermain voli tetapi Tobio tak merasa demikian. Ada kalanya, ia merasa dirinya bukanlah apa-apa dibandingkan orang lain dan merasa takut jika ia akan merusak timnya sendiri.

Walaupun dalam hatinya; Tobio sangat mencintai voli melebihi apapun.

Matanya yang terpejam kini perlahan tebuka. Menatap langit-langit ruang televisi sambil mendengarkan suara gemericik hujan yang terdengar dari dalam sana. Lagi. Tobio mulai merasakan rasa sesak ini, ketika ia merasa kalah dan bukan tandingan dari orang itu.

"Sial ... kenapa gue harus mikirin kakak sih?"

Tobio bergumam, bangkit dari duduknya untuk menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa dan kembali menatap langit-langit ruang televisi itu.

Kageyama Tobio memang mencintai voli.

Tapi itu semua ia lakukan karena seseorang.

Karena kakaknya.

Ting nong!

Bel rumahnya berbunyi. Keningnya mengekerut bertanya-tanya siapa yang mengunjungi rumahnya di jam segini. Tobio bangkit dari duduknya menuju pintu rumah untuk melihat siapa yang datang.

Saat pintu terbuka tubuh Tobio seketika membeku melihat seorang pria paruh baya berdiri di sana dengan seorang bodyguard di belakangnya. Pria yang sangat Tobio kenali—dan sudah lama tidak Tobio jumpa. Pria yang sudah sepuluh tahun ini pergi meninggalkannya dan ibunya, membawa kakaknya tanpa berpamitan padanya sekalipun.

Sosok itu ....

Setelah sekian lama ... untuk apa ia datang ke mari?

"Kamu sudah besar ya, Tobio-kun."

Tobio bercak pelan mendengar sapaan pria itu. "Ngapain anda kemari?"

"Wow ... apa itu cara yang baik untuk seorang anak bicara pada ayahnya, Tobio-kun? Apa mendiang ibumu tidak mengajarimu sopan santun?" Pria tertawa pelan melihat putranya yang tampak tak suka dengan kedatangannya ini. "Tobio-kun ada yang ingin ayah bicarakan denganmu."

Tobio menggeleng tak ingin mendengar apapun dari pria yang kenyataannya adalah ayah kandungnya itu. "Maaf, ayahku sudah mati sepuluh tahun lalu."

Ayah berdesis pelan mendengar ucapan kasar dari anak bungsunya itu. "Ayah tahu kamu benci ayah, Tobio-kun. Tapi ayah benar-benar harus memberitahumu ini." Ayah cepat menahan pintu yang akan Tobio tutup, sebelum anak laki-laki itu pergi darinya. "Ini tentang Tooru."

Mendengar nama kakaknya disebut, Tobio menghentikan dirinya yang akan menutup pintu. Pandangannya kembali tertuju pada ayahnya. Menunggu apa yang ingin ayahnya berita tahu tentang kakaknya.

"Kakakmu, dia sudah meninggal seminggu yang lalu."

Deg!

Tobio kembali membatu, jantungnya berdebar kencang mendengar ucapan ayahnya yang terdengar sangat serius tapi tak bisa Tobio percayai dengan mudah.

Kakaknya ... dia ... tidak mungkin ....

Pegangan di pintunya mengendur, wajahnya mengeras dengan matanya yang mulai berair menatap sosok ayahnya dan tanpa diduga Tobio menarik kerah baju ayahnya. "Bohong ... kakak ... kakak tidak mungkin—"

"Ayah bisa antarkan kamu ke makamnya jika kamu tidak percaya," potongnya, tanpa perlawanan meskipun kerah bajunya ditarik dengan kencang oleh putranya sendiri. "Ayah kemari mencarimu karena permintaan kakakmu."

"Tooru meminta ayah untuk membawamu kembali ke rumah, Tobio-kun."

Cengkraman di kerah baju ayahnya mengendur. Tobio merasa tubuhnya tak bertenaga dan pikirannya mendadak keruh tak bisa berpikir apa-apa lagi mendengar berita yang mengejutkan ini.

Setelah ibu meninggalkannya lalu ... kakak?

Air matanya meluncur deras tanpa bisa ia cegah. Kedua tangannya berusaha menutup dan menghapus air mata itu meski isak tangisnya mulai terdengar. Dadanya sesak, ia sedikit kesulitan bernapas. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga untuk berpijak kembali.

Tak ada yang bisa Tobio lakukan selain menangis.

Menangisi harap dan tujuannya yang kini tak dapat menuju titik untuk terwujud.


[To be Continue .... ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat b...

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel...

Part 45; Solasta

 Sudah hampir dua jam Rintarou duduk diam di sofa kamarnya sambil memandang Osamu yang masih terlelap di atas tempat tidur miliknya. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan sadar dari pingsannya sejak terakhir kali Rintarou coba membangunkannya. Telapak kakinya bergerak tak sabar—gemas ingin membangunkan pria itu agar ia bisa memastikan apakah ada luka lain yang Osamu dapatkan dari hasil entah apa yang pria itu lakukan sampai membuatnya babak belur begini. Melihat masih tak ada tanda-tanda Osamu akan membuka matanya, Rintarou menghela napas gusar. "Serius … lo kapan bangun sih, Sam?" gumamnya mengacak rambut belakangnya frustasi lalu bangkit berdiri dari posisinya. Menghampiri Osamu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau lo kenapa-kenapa, bisa-bisa gue yang disalahin Papa tau?" "Mana Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang." "Kenapa juga Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang?" "Mana gue ngga boleh kemana-mana lagi ... aneh banget....