Langsung ke konten utama

Part 402; Solasta

 Tiga tahun kemudian setelah kecelakaan Suna Rintarou ....

Mobil Mercedes Benz S-Class berhenti di salah satu gedung yang tampak terbengkalai yang berada di dekat pelabuhan Kota New York. Begitu mobil berhasil terpakir, para bodyguard yang berjaga di luar gedung langsung membukakan pintu. Membungkuk hormat begitu dua orang pria berjas hitam keluar dari dalam mobil itu.

Melihat itu, seorang pria paruh baya yang menjadi tuan rumah atas acara yang diselenggarakan di gedung itu, menyambut mereka dengan suka cita sambil mengulurkan tangannya. "Selamat datang, Tuan Ushijima, Tuan Semi. Senang melihat anda berdua bersedia menghadiri acara ini."

Adam Frank.

"Kami juga senang karena sudah diundang oleh anda, Tuan Frank." Eita membalas jabat tangan Adam sambil tersenyum ramah karena kakaknya tak kunjung membalas jabat tangan itu. "Ini pertama kalinya kami berkunjung, semoga kami bisa berkontribusi dengan baik."

"Tentu, Tuan Semi."

Eita menyikut pelan lengan Wakatoshi yang tampak melamun. Memberinya kode untuk setidaknya bersikap ramah pada Adam Frank meski dirinya tak berniat untuk menghadiri undangan pria itu. Wakatoshi kemudian berjabat tangan dengan Adam, berbicara seadanya ketika Adam memuji dirinya dan berbicara banyak hal untuk mendekati Wakatoshi.

Wakatoshi memang tidak berminat untuk menghadiri undangan Adam Frank. Meski pria itu selalu mengirimkannya undangan setiap Wakatoshi mengunjungi Amerika untuk keperluan bisnis—juga bertemu dengan Haruka, tapi Wakatoshi tidak pernah sekalipun menghadiri undangan itu.

Baginya, tidak ada gunanya ia menghadiri acara pelelangan manusia ini, karena Wakatoshi tidak menjalankan bisnis bawah tanah seperti ini.

Namun sepertinya Adam Frank tidak kenal lelah untuk mengundang Wakatoshi untuk hadir dalam acara ini. Dia pun akhirnya mengundang Semi Eita yang pastinya akan mengajak Wakatoshi—tentu dengan paksaan dan Wakatoshi tidak bisa menolak ajakan adiknya itu—untuk menghadiri acara ini.

Eita termaksud baru dalam bisnis gelap ini.

Pastinya Eita  perlu memperluas koneksinya sehingga undangan seperti ini adalah kesempatan baginya.

Tapi Wakatoshi tahu jika Adam Frank lebih tertarik untuk berbisnis dengannya.

Wakatoshi sudah tak asing dengan gerak-gerik seseorang yang menginginkan sesuatu darinya. Semenjak bisnis keluarga Ushijima yang dijalankan Wakatoshi mulai meningkat, banyak dari mereka yang tiba-tiba mendekati Wakatoshi untuk mengajaknya berbisnis.

"Aku tahu kalau kakak ngga mau dateng, tapi setidaknya bantu aku biar bisa dapat koneksi di sini," ucap Eita begitu mereka sudah tiba di dalam aula besar yang sudah ramai oleh para tamu undangan. Duduk di bangku utama tepat tak jauh dari panggung besar yang di sana terlihat seorang pembaca acara yang akan memimpin acara pelelangan ini.

Lamput temaram dan suasana gelap dalam ruangan besar itu membuat Wakatoshi tak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang datang. Tapi, dia yakin jika banyak orang penting dalam acara ini.

"Bisnis seperti ini terlalu beresiko," ujar Wakatoshi sambil menerima segelas red wine yang ditawarkan pelayan. "Perdagangan di port sudah cukup baik untukmu, tinggal perluas koneksi perdagangannya saja."

"Aku tahu," jawabnya. "Ibu juga bilang seperti itu tapi, I just want to know how far I can get."

Wakatoshi tidak menjawabnya dan memilih meneguk cairan merah itu sambil menatap ke panggung, dimana sang pembawa acara sudah memulai acara.

Namun, Eita kembali bicara, "Kakak mau membeli?"

"Tidak."

"Beneran?" tanya Eita memastikan. "Baiklah, kalau begitu aku saja."

Wakatoshi menatap adiknya memicing. "Kau tahu bukan resikonya?"

"Aku tahu ...," jawabnya. "Tenang saja, pilihanku tidak pernah gagal. Jadi, kakak juga harus membantuku untuk mendapatkan yang aku mau, oke? Itulah kenapa aku mengajak kakak ke sini," tawanya sambil menepuk pundak Wakatoshi.

Wakatoshi hanya mendelik pada Eita.

Acara itu berlangsung dengan sangat ramai—apalagi ketika satu persatu, para manusia yang akan dijadikan lelang menaiki panggung dengan kedua tangan diborgol dan leher terikat dengan tali besi bagai seekor anjing. Luka lebam menghiasi wajah dan tubuh mereka bahkan pakaian yang dikenakan benar-benar lusuh dan minim.

"Kau sudah mendapatkannya?" tanya Wakatoshi ketika para tamu saling mengajukan nominal harga untuk mendapatkan seorang gadis di atas panggung itu. Eita menatap kakaknya yang menunjuk panggung dengan kepalanya. "Tidak tertarik dengan gadis itu?"

"Gadis itu cantik, tapi tidak."

"Pria itu?" Wakatoshi menunjuk seorang pria cantik yang kini menaiki panggung. "Kurasa dia seorang omega."

"Tidak tidak." Eita menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Tidak ada yang menarik dari seorang omega."

Wakatoshi hanya mengangguk saja mendengarnya. Dia memang tahu jika Eita sedikit tidak menyukai omega. Meski pria itu tidak menunjukkannya secara terang-terangan jika dia tidak menyukai omega, tapi Wakatoshi tahu jika adiknya itu memang tak menyukai omega.

Begitupun dengan ibu kandungnya.

"Karena kita sudah sampai pada penghujung acara, so tinggal tersisa satu lagi, jadi, siapkan uang kalian karena ini spesial untuk malam ini." Suasana aula itu mulai ribut kembali karena penasaran dengan apa yang akan dilelang kembali. "Wah ... sabar tuan dan nyonya, baik, karena sudah tidak sabar kita panggil saja, segera bawakan!"

Dari samping panggung, Wakatoshi dapat melihat seorang anak laki-laki yang hanya memakai kaos putih kebesaran dan celana pendek sepaha masuk dengan diseret oleh seorang pria berbadan besar karena anak laki-laki itu terlihat melawan. Rambutnya panjang menutupi sebagian wajahnya. Luka lebam terlihat menghiasi kaki dan tangannya—namun dengan luka seperti itu tidak membuat laki-laki itu takut untuk memberontak.

Pandangan Wakatoshi tidak lepas dari anak itu.

Pembawa acara itu mulai memberi informasi singkat tentang anak laki-laki itu yang ternyata berusia sepuluh tahun. Mereka menemukannya di sebuah pasar dimana anak itu sedang mencuri sampai membunuh para pedagang yang berusaha menangkapnya. Hanya dengan membawa sebilah pisau, anak itu berhasil membunuh.

Para tamu pun tampak tak mempercayai ucapan pembawa acara itu.

Namun, tak kepercayaan itu runtuh begitu melihat anak laki-laki itu melompat dan menendang wajah pria yang menyeretnya tadi.

"Hraghh!!"

Anak laki-laki itu memukul pria itu dengan menggunakan besi yang mengikat kedua tangannya namun ditangkis dengan mudah oleh pria itu dan membalas tendangan yang diterimanya.

Duagh!

"Hnggraghh!!"

Namun anak laki-laki itupun tak menyerah dan terus menghantamkan besi di tangannya. Membuat semua tamu yang menonton terdiam saking terkejutnya melihat anak laki-laki itu.

Begitupun dengan Wakatoshi.

Sebelum terjadi pertumpahan darah, para pria lain langsung menaiki panggung dan menahan anak laki-laki itu agar tidak memberontak.

"Bagaimana? Kalian sudah percaya?" Sorak para penonton mulau terdengar menggema di dalam ruangan itu. "Jadi bagaimana ada yang mau mengajukan nominal?"

"100 juta!" Teriak salah satu dari para tamu.

"500 juta!"

"600!"

"750!"

"800 juta!"

"Baik 800 juta, ada yang mau mengajukan lebih tinggi?"

"900 juta!"

"Wow 900 juta! Angka tertinggi di hari ini, bagaimana ada yang mengajukan lebih tinggi dari 900 juta?"

Aula itu kembali ramai.

"1 Milyar!"

Ketika seseorang mengajukan nominal lebih tinggi, suasana aula tersebut semakin ramai.

"Anak itu mungkin seorang true-alpha," ucap Eita. "Kak—"

"10 Milyar."

Ucapan Eita terpotong begitu melihat Wakatoshi mengangkat tangannya dan mengajukan nominal yang sepuluh kali lebih tinggi dari nominal yang terakhir diajukan. Melihat pengajuan itu tentu saja membuat suasana aula makin ramai—apalagi mengetahui jika Ushijima Wakatoshi lah yang mengajukan.

Bahkan Adam Frank, si pemilik acara tidak percaya jika Wakatoshi mengajukan nominal.

"10 Milyar?! Wah! Harga yang luar biasa! Wah! Saya bahkan tidak bisa bicara apa-apa jadi apakah ada yang ingin mengajukan lebih tinggi dari 10 Milyar? Saya akan menghitung mundur jika tidak ada yang mengajukan maka Tuan yang di sana akan memenangkan pelelangan ini."

Pembawa acara mulai menghitung mundur sambil menatap para tamu takut-takut jika ada yang bisa mengajukan lebih tinggi lagi.

Tapi, sampai hitung mundur terakhir. Tidak ada satupun yang berani mengajukan nominal di atas milik Wakatoshi.

Sehingga, pelelangan terakhir di hari ini dimenangkan oleh Ushijima Wakatoshi.


*


*


*


"Padahal belum ada lima jam kakak bilang ngga mau ngajuin nominal, ternyata ... People change their minds very easily, don't they?" ujar Eita, sedikit menyindir Wakatoshi yang berjalan di sampingnya setelah acara pelelangan selesai dan mereka kini berjalan menuju ruangan sel di mana para manusia yang dilelang tadi ditahan.

Wakatoshi tak menjawab sindiran bercanda Eita dan memilih mengikuti pria suruhan Adam yang mengantarkan mereka pada sel tempat anak laki-laki yang berhasil Wakatoshi beli berada.

Begitu mereka sampai di sel paling pojok, Wakatoshi dapat melihat anak laki-laki itu terduduk di atas lantai semen dengan salah satu kakinya terikat oleh rantai besi begitu pula dengan kedua tangannya. Ketika mendengar suara pintu sel terbuka, laki-laki itu langsung mendongakkan kepala, melihat dua orang pria yang berdiri menjulang di hadapannya dengan mata berbinarnya yang terhalang oleh rambut panjangnya.

Melihat tatapan laki-laki itu, entah kenapa perasaannya mendadak sesak. Melihat lebam dan luka di tubuh anak laki-laki itu juga keadaannya yang sangat lusuh dan kotor membuat Wakatoshi tak tega melihatnya.

Karena anak laki-laki itu mengingatnya dengan Rintarou.

Ketika Rintarou duduk di kursi taman dengan perban melingkar di kepalanya, luka di tubuh, dan pandangan matanya yang kosong. Membuat Wakatoshi membayangkan bagaimana jadinya jika dulu, ia memilih membuang Rintarou. Apakah Rintarou akan memiliki nasib yang sama seperti anak ini?

Ditangkap.

Dipukuli.

Dijual.

Wakatoshi berlutut di depan anak laki-laki itu, menyamai tinggi badannya dengan anak laki-laki itu. Tanpa bicara apa-apa, Wakatoshi mengukurkan tangannya, membuat Eita yang berdiri di belakang Wakatoshi mengerutkan dahinya bingung melihat kakaknya hari ini.

Melihat uluran tangan itu, anak laki-laki itu menatap uluran tangan Wakatoshi lalu beralih pada pria itu yang masih diam tak bicara apa-apa. Tak lama, anak laki-laki itu menggerakkan kedua tangannya, membalas uluran tangan Wakatoshi sambil menatap pria itu yang kini membantunya melepaskan borgol dan rantai besi yang mengikat kakinya.

Anak Laki-laki itu hanya menatap Wakatoshi dengan mata berbinarnya. Seperti melihat malaikat yang menolongnya keluar dari neraka yang ia alami selama satu tahun ini.

"O—osamu."

Wakatoshi menatap anak itu ketika mendengarnya menyebutkan sebuah nama. "Namamu Osamu?" tanya Wakatoshi, dan dijawab anggukan oleh anak itu. Setelah semuanya terlepas Wakatoshi kemudian membawanya ke dalam gendongannya, karena melihat kondisi kakinya membuat Wakatoshi ragu jika anak ini akan kuat berjalan.

Ringan sekali ....

Ini pertama kalinya ia menggendong anak kecil sejak terakhir kali ia menggendong Rintarou ketika anaknya masih bayi.

Bagaimana rasanya jika ia menggendong Rintarou sekarang?


*


*


*


Lima tahun setelahnya ....

Suna Rintarou.

Tahun ini telah resmi menjadi siswa SMA, dikejutkan oleh kehadiran seorang pria berjas dan dua orang pria berbadan besar di belakangnya ketika ia baru saja tiba di rumahnya.

Apa pria ini tamu Pamannya?

"Siapa kamu?" Rintarou bertanya begitu pria itu menyadari kehadirannya.

Bukannya menjawab, pria itu malah mematai penampilan Rintarou yang memakai celana jersey tim voli sekolahnya, kaos hitam polos, dan jaket tim voli berwarna merah yang sengaja tidak ia resletingkan. Melihat pakaian yang ia pakai, wajahnya yang terlihat kelelahan, dan tangannya menentang bola voli, sepertinya Rintarou habis pulang dari kegiatan klub.

"Halo, Pak? Aku bicara padamu, loh. Apa Bapak tuli?"

Ceklek!

Melihat respons Rintarou yang tak sopan sontak dua orang bodyguard-nya langsung menodongkan pistol membuat Rintarou refleks mengangkat kedua tangannya. Pria itu langsung menahan mereka.

"Wow santai, men! Menodongkan pistol begitu sangat berbahaya."

"Saya adalah papamu."

"Huh?" Rintarou membolakan matanya, bingung dan terkejut begitu pria di hadapannya tiba-tiba mengatakan hal yang aneh. "Papa?"

"Saya Ushijima Wakatoshi, papa kandungmu."

"U—USHIJIMA?!"

Rintarou langsung menoleh kebelakang ketika mendengar suara lain menyahut keterkejutannya.

Dia melihat Tetsurou—teman kecilnya yang berdiri di belakangnya sama terkejutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu