Langsung ke konten utama

Part 401; Solasta

 Empat belas tahun yang lalu ....

Wakatoshi berjalan di koridor rumah sakit sambil menempelkan ponselnya di telinga ketika mendapatkan panggilan telepon dari Haruka; ibu tirinya. Ia menepi sebentar pada taman rumah sakit yang terlihat tidak terlalu ramai untuk menerima panggilan tersebut. "Ya, Ibu?"

"Wakatoshi, kamu ada di mana? Ibu sudah sampai di Jepang dan sekarang ada di rumahmu, tapi kamu tidak ada di sini." Suara wanita itu terdengar dari seberang sana. Mengingatkan Wakatoshi jika hari ini Haruka akan berkunjung ke Jepang seperti biasanya ia lakukan beberapa bulan sekali untuk menjenguk dirinya di sini karena Haruka sudah menetap di Amerika sejak lama.

Semenjak kematian ibu dan ayahnya, Haruka lebih sering mengunjungi Jepang untuk bertemu dengan Wakatoshi. Merawatnya seperti anak kandungnya sendiri seperti biasa ia lakukan sejak dulu.

Meskipun Wakatoshi bukan putranya.

"Aku sedang di rumah sakit ib—"

"Di rumah sakit? Astaga ... kamu sakit, Wakatoshi? Atau sesuatu terjadi padamu di jalan?" potong Haruka panik. Wakatoshi buru-buru menjelaskan jika ia pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi temannya; Hirugami Sachiro yang kebetulan sedang bertugas di rumah sakit ini. "Ah ... syukurlah, ibu pikur terjadi sesuatu denganmu, Wakatoshi."

"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Wakatoshi, sekali lagi menenangkan dan meyakinkan Haruka jika dia baik-baik saja. "Tidak terjadi sesuatu yang buruk padaku."

"Iya, iya, syukurlah."

"Ibu kemari sendiri?"

"Iya, ibu kemari sendiri. Eita sedang mengurusi tugas akhir kuliahnya jadi tidak bisa menemani ke sini," jawab Haruka, kemudian Wakatoshi mendengar nada bicara Haruka terdengar merengut setelahnya. "Anak itu akhir-akhir ini jadi sibuk sekali, Wakatoshi. Kadang lupa makan dan sering begadang, ibu jadi khawatir Eita sakit, apalagi sekarang Eita sudah menangani perdagangan di port yang ramai. Ibu jadi sangat khawatir padanya."

"Coba kamu nasihati Eita, Wakatoshi. Siapa tahu jika kamu yang bicara, Eita akan mendengarkan."

"Nanti, akan aku coba," jawab Wakatoshi. "Ibu tunggu saja di rumah dan istirahat, aku akan segera pulang."

"Baiklah, kamu hati-hati di jalan ya Wakatoshi. Bilang pada supirmu untuk berhati-hati dan jangan ngebut."

"Baik, Ibu."

Wakatoshi mematikan sambungan telepon itu dan bergegas menuju mobilnya yang terpakir di halaman parkir utara rumah sakit untuk kembali ke rumah. Namun, ketika Wakatoshi berbalik, matanya langsung menangkap sosok anak kecil laki-laki yang duduk di bangku taman dengan pandangan kosong lurus ke depan.P erban putih terlihat melilit kepalanya. Wajahnya terlihat tak bercahaya sama sekali, kosong, seperti tak ada jiwa di dalam tubuh itu.

"Sudah tujuh tahun berlalu ya, Wakatoshi."

Wakatoshi menoleh ke samping begitu mendengar suara familiar yang bicara padanya. Melihat, jika Daren—kakak dari Ayumi; mendiang kekasihnya—lah yang berbicara padanya. "Bagi saya semuanya masih terasa seperti kemarin, Daren."

Daren tertawa mendengar jawaban Wakatoshi yang ternyata tak banyak berubah meski sudah tujuh tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu. Candaannya masih kaku dan terlihat serius. "Yah, tapi kenyataannya sudah tujuh tahun berlalu. Dan jika kamu lupa, anakmu juga sudah tumbuh sejak saat itu."

Wakatoshi tidak langsung menjawabnya. Tidak menduga jika Daren akan langsung membicarakan putranya yang ia titipkan pada Daren untuk pria itu jaga sejak kematian Ayumi tujuh tahun lalu. Menjaganya dari orang-orang yang berniat untuk membunuhnya.

"Pertama dan terakhir kali kamu bertemu dengan anakmu, adalah saat kelahirannya, bukan?" tanya Daren." Kalau kamu ingin bertemu dengan anakmu, di sana. Rintarou sedang duduk di kursi itu."

Daren menunjuk tepat pada anak kecil laki-laki di kursi taman yang sama seperti anak kecil laki-laki yang Wakatoshi perhatikan sejak tadi. Wakatoshi tentu saja terkejut melihat jika anak dengan pandangan kosong tanpa cahaya itu adalah putranya; Rintarou.

"Kenapa dia diperban seperti itu?" tanya Wakatoshi, memandang Daren dengan pandangan khawatir di balik mimik wajah tanpa ekspresi miliknya.

Tapi Daren menyadari jika kekasih dari mendiang adiknya itu mengkhawatirkan kondisi Rintarou. "Yah ... ada sedikit kecelakaan."

"Sedikit?"

"Tidak tidak, bukan sedikit lagi. Ini cukup parah."

"Apa yang terjadi, Daren?" tanya Wakatoshi tak sabar, rasa khawatirnya tiba-tiba muncul lebih besar dari sebelumnya dan itu sedikit membuat Wakatoshi kebingungan; kenapa ia menjadi seperti ini saat mendengar jika Rintarou mengalami kecelakaan?

"Anakmu menyelamatkan temannya yang terbawa ombak bulan lalu. Dan baru dua minggu yang lalu Rintarou sadar dari komanya. Dan yah ... dia kehilangan ingatannya."

Bulan lalu ... dan baru dua minggu ini Rintarou sadar dari komanya?

Artinya, Rintarou koma selama sebulan?

Dan ... kehilangan ingatannya?

"Maksudmu, Rintarou amnesia?"

Daren mengangguk. "Ya, benar. Rintarou Amnesia."

Wakatoshi terdiam setelahnya. Pandangannya beralih untuk kembali menatap Rintarou yang masih duduk di sana. Tidak beranjak dari duduknya maupun sekedar menoleh ke arah lain untuk memperhatikan langit sore dan suasana taman yang terlihat menarik untuk diperhatikan.

"Maaf karena aku tidak bisa menjaga Rintarou dengan baik sehingga dia jadi seperti ini sekarang," ujar Daren meminta maaf pada Wakatoshi sambil menundukkan pandangannya.

Sejak Rintarou koma sampai saat ini, Daren merutuki kecerobohannya karena tak bisa menjaga Rintarou seperti janjinya pada Ayumi dan Wakatoshi.

"Jangan meminta maaf, ini bukan sepenuhnya kesalahanmu," jawab Wakatoshi. "Ini kesalahan saya karena tak bisa menjaga Rintarou juga."

Daren tertegun mendengarnya, pandangannya kembali terangkat untuk melihat Wakatoshi yang masih menatap Rintarou. Daren terdiam begitu melihat mimik wajah pria kaku tanpa ekspresi itu kini menunjukkan rasa penyesalan dan khawatirnya.

Daren pikir, Wakatoshi tidak perduli pada Rintarou karena pria itu tak pernah sekalipun mengunjungi ataupun bertanya kabar Rintarou padanya. Ia hanya mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan Rintarou itupun dengan menyuruh anak buahnya makanya ketika Rintarou koma, Daren tidak memberi tahu Wakatoshi. Tapi ... melihat bagaimana reaksinya sekarang, Daren tahu jika dalam hatinya Wakatoshi juga menyayangi Rintarou.

Ushijima Wakatoshi adalah ayah kandung Rintarou, dan sebagai ayahnya; ia pasti memiliki rasa sayangnya pada anaknya sendiri.

Ponsel Wakatoshi bergetar, menampilkan nama sekretarisnya; Shirabu Kenji di layar. "Saya harus pergi."

"Oh—y—ya," jawab Daren terbata karena terkejut. "Aku lupa jika kamu pasti sibuk—"

"Besok saya akan kemari lagi," potong Wakatoshi. Kemudian berbalik pergi dari sana tanpa menunggu jawaban Daren. Wakatoshi kemudian mengangkat teleponnya. "Ada apa Kenji?"

"Maaf mengganggu anda, Tuan. Terkaik pertemuan anda dengan Tuan Miya sudah saya dapatkan. Satu minggu lagi, anda bisa bertemu dengan beliau di Amerika."

"Baik. Atur jadwal dan persiapannya," perintah Wakatoshi. "Apa kau tahu alasan kenapa Tuan Miya menunda pertemuan ini selama hampir dua bulan?"

"Saya tidak tahu detailnya, Tuan. Tapi, katanya putra Tuan Miya sedang sakit."


*


*


*


Ushijima Wakatoshi benar-benar menempati janjinya pada Daren karena keesokan harinya, pria alpha itu datang ke rumah sakit. Membawa satu buket buah, satu buket bunga Aster, satu buket bunga Krisan, dan hadiah-hadiah lain untuk Rintarou. Para bodyguard yang bertugas membawa hadiah itu menyimpannya di atas meja dekat sofa yang letaknya tak begitu jauh dengan ranjang dimana Rintarou duduk.

Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu hanya memperhatikan pada bodyguard yang menyimpan hadiah-hadiah itu. Tidak menyadari jika ayahnya berdiri di luar kamar inap Rintarou bersama Daren.

"Kau tidak ingin masuk?" tanya Daren karena sejak tadi, Wakatoshi tak masuk ke dalam kamar inap anaknya. Bahkan ketika para bodyguard telah selesai menyimpan hadiah yang ia berikan di atas meja, pria itu tetap diam di tempatnya.

"Tidak perlu," jawabnya. "Biarkan kondisinya pulih untuk beradaptasi dengan ingatan barunya dahulu. Sekarang bukan waktu yang tepat untuknya melihat saya."

"Yah ... terserah kau saja," responsnya sambil mengacak pelan belakang kepalanya sebelum bicara pada Rintarou. "Rin-chan, paman pergi sebentar ya. Jika ada apa-apa tekanlah bel itu, oke?"

Rintarou mengangguk di tempatnya. Membiarkan pria yang katanya adalah pamannya itu pergi.

Daren menutup pintu kamar inap Rintarou kemudian membawa Wakatoshi pergi dari sana. Di sela langkah mereka, Daren menceritakan hal-hal yang terjadi pada Rintarou selama tujuh tahun ini meski Wakatoshi belum memintanya. "Rintarou sering sekali bertanya di mana papanya." Mendengar itu, Wakatoshi langsung menatap Daren di sampingnya. "Dia bilang ingin melihat wajah papanya. Apa Rintarou mirip dengan papanya atau dengan mamanya."

"Tapi jika kamu melihat wajah Rintarou dengan seksama, dia mirip sekali dengan Isabelle."

Wakatoshi membenarkan itu. Meski dirinya baru bertemu dengan Rintarou dua kali, ia menyadari jika wajah Rintarou memang mirip sekali dengan Ayumi. Ketika bayipun, Wakatoshi mengakui itu, jika Rintarou benar-benar mirip mamanya.

"Sifat dan karakternya mirip dengan Isabelle, apalagi kelakuannya yang sering kabur jika mendapat masalah, benar-benar seperti Isabelle," ucapnya. "Tapi, dia susah sekali bergaul, temannya pun cuman Tetsu-chan saja. Jika Rintarou dapat teman baru, itupun setelah didekatkan oleh Tetsu-chan. Mirip sepertimu."

"Rintarou banyak tertawa akhir-akhir ini dan jika melihatnya, wajah Rintarou sangat bercahaya, seperti ia telah menemukan sesuatu yang membuatnya hidup."  Raut wajah Daren berubah sendu setelahnya. "Namun, setelah sadar dari komanya, Rintarou tidak mengingat apapun, pandangannya kosong, bahkan dia melupakan Tetsu-chan dan diriku."

"Tetsu-chan, anak Natsumi?"

"Ya, Natsumi teman kecil Isabelle. Sebenernya, ketika Rintarou sadar dan lupa ingatan, Tetsu-chan sangat terpukul, dia tidak mau datang mengunjungi Rintarou karena takut."

"Itu hal yang buruk," ujar Wakatoshi.

"Ah Albert-san?"

Mereka berhenti berjalan begitu mendengar seseorang memanggil nama Daren. Ternyata, yang memanggilnya adalah seorang dokter wanita yang menangani kondisi Rintarou.

Dokter itu menghampiri mereka. "Syukurlah bertemu dengan anda di sini."

"Ada apa, Dokter? Apa ada perkembangan dari kondisi Rintarou?"

"Sebaiknya kita membicarakan ini di ruangan saya."

"Baiklah." Sebelum mengikuti sang dokter, Daren memberi kode pada Wakatoshi untuk mengikuti mereka. Wakatoshi perlu tahu kondisi Rintarou. "Apa teman saya boleh ikut, Dokter? Dia sangat mengkhawatirkan Rintarou karena Rintarou dulu sangat dekat dengannya."

Wakatoshi melirik Daren yang berbohong.

Sejak kapan Wakatoshi dekat dengan Rintarou?

"Tentu, silahkan."

Mereka berdua akhirnya mengikuti dokter itu menuju ruangannya yang tak begitu jauh dari tempat mereka bertemu sebelumnya. Melihat reaksi dokter wanita itu pada Wakatoshi, sepertinya dokter itu tidak tahu siapa Wakatoshi sebenarnya.

"Silahkan duduk." Dokter itu mempersilahkan Wakatoshi dan Daren duduk di kursi yang sudah disediakan di depan mejanya. Wakatoshi dapat melihat papan nama sang dokter di atas meja.

Iwaizumi Reiko.

"Mengenai kondisi Rintarou-kun, saya rasa anda harus membawanya ke psikiater," ucap Dokter Reiko sambil memberikan map berisi hasil pemeriksaannya pada Daren. "Untuk kondisi luka di tubuhnya sudah membaik, begitu juga dengan memar di kepalanya. Tubuhnya pun sudah bisa bergerak seperti biasanya dan sekitar tiga hari lagi, Rintarou sudah boleh pulang."

"Melihat dari hasil darahnya, sepertinya Rintarou-kun memiliki gen alpha dari kedua orangtuanya. Mungkin karena itu tubuh Rintarou dapat pulih dengan cepat."

"Namun, untuk kondisi mentalnya saya hanya bisa menyarankan itu. Kecelakaan yang dialami Rintarou-kun cukup besar dan mungkin akan meninggalkan trauma padanya."

Daren membaca data hasil pemeriksaan itu. Helaan napasnya terdengar kemudian ia mengangguk menyetujui usulan sang dokter. Ia mengembalikan map tersebut. "Ya, saya rasa itu pilihan terbaik untuk saat ini."

Daren menatap Wakatoshi meminta pendapatnya. Wakatoshi pun mengangguk menyetujuinya. "Saya akan carikan psikiater untuk Rintarou."

"Jika saya boleh sarankan." Dokter Reiko memberikan kartu nama pada Daren. "Saya memiliki kenalan psikiater yang cukup kompeten dalam menangani kasus yang dialami Rintarou-kun, mungkin anda bisa berkonsultasi dengan beliau."

Daren menerima kartu nama itu.

Akaashi Sora.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu