Terhitung sudah tiga hari semenjak Rintarou pergi dari apartemennya dan menetap di salah satu hotel yang sedikit jauh dari pusat kota. Selama itu juga dirinya tidak pergi ke kampus dan melewatkan empat mata kuliah yang harus dia hadiri karena tak mau jika dirinya ditemukan oleh orang-orang papanya yang mengincar dirinya di kampus. Kepergian dirinya pun pasti sudah terdengar sampai ke telinga papanya, mengingat jika Osamu adalah salah satu orang kepercayaan papanya yang tahu jika dirinya pergi dari apartemen.
Apalagi melihat usaha orang-orang yang mengawasi dirinya secara diam-diam gagal mengikuti di hari pertamanya kabur. Hal itu pasti membuat papa menyuruh mereka mencari dirinya ke segala tempat di kota ini.
Sebenarnya bukan sekali dua kali Rintarou kabur seperti ini ketika dirinya bertengkar dengan papanya. Meskipun akhirnya, dia ditemukan dan diseret pulang karena mereka cepat mengetahui keberadaan dirinya. Makanya sekarang, Rintarou sedikit melakukan sesuatu agar Kenma tidak cepat menemukannya. Dan hal itu ternyata efektif sampai tiga hari.
Meskipun jadinya, tidak banyak yang Rintarou lakukan di sana. Dia hanya makan-tidur-nonton televisi-mandi dan kegiatan apa pun yang bisa dia lakukan di kamar hotelnya. Ponselnya yang asli pun dimatikan karena dirinya memiliki ponsel baru yang sedikit membosankan karena tak ada pesan-pesan random yang dikirim teman-temannya di grup. Juga, pesan dari Osamu—yang biasanya dia dapatkan—yang selalu membuatnya tertawa atau geleng-geleng kepala saking gemasnya melihat ketikan Osamu.
Rintarou menghela napasnya pelan. Menumpukan kedua tangannya di atas counter kamar mandi tepat di hadapan cermin yang menampilkan siluet dirinya. Raut wajahnya berubah seketika begitu mengingat Osamu. Mengingat bagaimana pria itu ketika mencoba menahan Rintarou agar tidak pergi, juga ketika dirinya dipaksa untuk menceritakan tentang orang-orang yang mengawasi dirinya secara diam-diam itu. Walaupun Rintarou tak sadar jika dirinya menekan Osamu dengan feromonnya.
Kadang kala, Rintarou seperti mendengar suara Osamu memanggil namanya beberapa hari ini. Memintanya untuk kembali, berulang kali, sampai kepalanya pening. Hal itu tentu saja berhasil membuat Rintarou ingin pulang ke apartemennya berulang kali—tetapi tak jadi karena egonya berhasil mengalahkan keinginannya itu.
Keran dari washtafel di hadapannya ia putar sehingga air mulai mengalir dari sana. Dirinya menangkupkan kedua tangannya untuk menampung air itu kemudian membasuh wajahnya perlahan. Merasakan dinginnya air itu menyentuh permukaan wajahnya dan sedikit menenangkan dirinya. Membantu menghilangkan bayang-bayang Osamu yang membuatnya kadang kala bimbingan seperti ini.
Kekanakan sekali, Rintarou.
Gerakannya terhenti. Mematikan keran kemudian kembali mengangkat wajahnya untuk melihat dirinya yang basah pada cermin. Jemarinya menyisir rambutnya yang basah ke belakang sambil lagi-lagi menghelakan napasnya kemudian memejamkan kedua matanya.
Katakan jika Rintarou memang kekanakan.
Tapi dirinya hanya ingin papanya tahu, jika Rintarou bukan lah lagi anak kecil yang bisa papanya atur sesuka hati. Bukan lagi anak kecil yang tak perlu tahu soal semua hal yang papanya sembunyikan darinya. Rintarou sudah dewasa, dia hanya ingin tahu semua hal yang papa sembunyikan darinya, termaksud tentang kematian mamanya dan alasan sebenarnya kenapa papanya menyembunyikan dirinya.
Juga, tentang keluarga Ushijima yang tak Rintarou ketahui.
Tapi kenapa ... papanya tak pernah bisa mengerti dirinya?
Apa papanya masih tak percaya pada dirinya?
Apa ... papa tak pernah menyayangi Rintarou?
Yah benar, sejak dulu pun, papanya memang tidak pernah menyayangi dirinya. Tidak pernah menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri bahkan mengasingkannya.
Kedua matanya kembali terbuka, memandang kosong ke arah cermin sambil berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang selalu ia pikirkan ketika hal seperti ini terjadi. Tak mau terus memikirkan hal ini, Rintarou akhirnya keluar dari kamar mandi.
Ceklek!
"Akhirnya kamu keluar juga, Rintarou."
Deg!
Langkah Rintarou seketika terhenti begitu mendengar suara seseorang di dalam kamar hotelnya ketika dirinya baru selangkah keluar dari bilik kamar mandi. Tangannya yang masih memegang knop pintu sedikit gemetar menyadari jika suara itu berasal dari seseorang yang sangat Rintarou kenali.
Papanya.
Dan begitu Rintarou membalikkan tubuhnya, dia dapat melihat papanya berada di sana. Duduk di salah satu sofa tunggal di hadapannya sambil bertumpang kaki. Menatap penuh intensitas padanya. Dan itu membuat Rintarou bergidik.
"Berlama-lama di kamar mandi itu tidak baik, Rintarou. Kamu bisa kedinginan."
"Pa—papa kok ... di sini?" tanya Rintarou berusaha membenarkan suaranya yang terdengar gugup saking terkejutnya melihat papanya di sana. Meskipun sia-sia karena dirinya terlihat sangat panik sekarang.
"Kamu sendiri, kenapa bisa di sini?" tanya Wakatoshi. Balik bertanya pada anak semata wayangnya yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi tanpa mau menghampirinya. Untuk itu, Wakatoshi bangkit dari duduknya, sedikit menghampiri Rintarou meskipun masih ada jarak di antara mereka. "Bolos kuliah, dan pergi dari apartemen. Kenapa?"
"Engga perlu tanya, papa juga tahu kenapa. Jangan pura-pura engga tahu, deh." Rintarou berdecak pelan, lalu menutup pintu kamar mandi di belakangnya begitu menyadari jika dia belum selesai menutup pintu. Dirinya melihat kedua tangan di depan dada, seolah tak takut dengan papanya saat ini. "So, kenapa papa di sini? Mau nyeret aku pulang? Biasanya papa nyuruh orang-orang papa buat nyeret aku pulang, dan ngga mau repot-repot nyeret aku pulang sendiri kayak gini?"
"Papa kan sibuk, ngga ada waktu buat secara pribadi temuin aku kayak gini." Tidak ada jawaban dari Wakatoshi, kemudian Rintarou melanjutkan, "Meskipun papa sendiri yang nyuruh aku pulang, aku tetep engga mau pulang. Jadi mending papa pulang aja sana, kasian waktu berharga papa jadi terbuang sia-sia karena aku."
Saat Rintarou akan pergi dari sana, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Wakatoshi yang kembali berbicara;
"Kamu mirip sekali dengan mamamu ya, Rintarou."
Rintarou terdiam sebentar, tak menjawab ucapan papanya dan menunggu Wakatoshi melanjutkan, "Padahal mamamu tidak mau sifat dan kelakuannya turun padamu. Dia lebih berharap sifatmu seperti saya. Tapi ternyata sebaliknya ya?"
Rintarou akhirnya memutuskan untuk membalikkan tubuhnya untuk berhadapan kembali dengan papanya. Ia dapat melihat wajah papanya yang sedikit melunak meskipun masih sangat arrogant di matanya. Tapi ... entah kenapa, Rintarou dapat melihat sebuah cahaya di matanya, ketika dirinya bercerita soal mamanya.
"Tapi, meskipun begitu, saya bersyukur jika kamu dominan lebih mirip Ayumi daripada saya. Karena dengan begitu, sebagian dari Ayumi dapat saya lihat kembali, di dunia ini."
Rintarou merasakan jika matanya sedikit perih karena mendengar ucapan papanya yang terdengar begitu tulus padanya meskipun terdengar sangat miris dan menyakitkan. Tetapi Rintarou dapat merasakan, jika papa mengatakannya dengan jujur—dari dalam lubuk hatinya. Seperti, Wakatoshi mensyukuri, jika dirinya masih diberi kesempatan untuk bersama Rintarou di dunia ini. Melihat bagaimana laki-laki itu tumbuh—meskipun tanpa Ayumi di sisinya.
Melihat Rintarou, memang kadang membuat Wakatoshi merasakan sesak karena wajah anaknya mengingatkan dirinya dengan Ayumi. Warna matanya, warna rambutnya, raut wajahnya, semuanya benar-benar terlihat mirip seperti Ayumi versi laki-laki. Dan itu membuat Wakatoshi merindukan sosok itu.
"Maaf ya, Rintarou." Wakatoshi berujar, mengagetkan Rintarou karena baru pertama kali ia mendengar papanya meminta maaf padanya. "Papa tidak bisa menjadi papa yang terbaik untukmu."
"Papa hanya mau kamu hidup dengan tenang dan damai tanpa ada tekanan dari keluarga ini, Rintarou. Hidup normal seperti anak-anak seusiamu pada umumnya dan tanpa ketakutan akan bahaya yang kamu tahu akan muncul kapan saja. Papa hanya ingin melindungimu, seperti janji papa pada mamamu. Untuk itulah, papa melakukan ini. Menyembunyikan semuanya darimu," ujar Wakatoshi, tanpa ada kebohongan sama sekali.
Cara bicaranya terdengar sangat berbeda dari biasanya, dan itu membuat Rintarou entah kenapa ingin menangis. Selama ini, dirinya tidak pernah mendengar papanya berbicara dengan sangat tulus dan santai seperti ini. Tidak pernah merasakan, bagaimana rasanya seorang ayah berbicara pada anaknya, karena Wakatoshi selalu berbicara dengannya seperti dua orang asing. Tanpa sebuah hubungan yang mengikat mereka.
Tapi sekarang ... Rintarou seperti melihat sosok papanya. Bukan seorang Ushijima Wakatoshi. Tapi, papanya.
"Meskipun awalnya, papa menolak kehadiranmu. Mengasingkanmu dari hidup papa, dan meminta Daren untuk merawatmu. Tapi saat itu, keadaannya sedang kacau dan kamu ... memang harus disembunyikan." Wakatoshi menghampiri Rintarou yang menundukkan pandangannya menahan gejolak emosi yang bercampur jadi satu di hatinya. "Semuanya memang sangat rumit sampai papa harus bertindak seperti ini tanpa memikirkan perasaanmu."
"Maaf karena kamu harus hadir di keluarga ini, Rintarou."
Rintarou dapat merasakan puncak kepalanya ditepuk dua kali dengan pelan lalu berubah jadi usapan halus yang penuh kasih sayang. Hatinya yang menghangat tiba-tiba terasa sesak karena rasa haru dan senang yang berkecamuk menjadi satu. Rintarou dapat merasakan jika kedua matanya basah dan satu persatu air mata jatuh, mengalir di pipinya.
"Ka—kalau papa menjelaskan dari awal, Rintarou engga mungkin kabur kayak gini tahu!"
Wakatoshi hanya tertawa kecil mendengarnya lalu mengacak pelan surai kecoklatan milik anaknya. Perasaan sesak di hatinya tiba-tiba menguar begitu saja karena dirinya berhasil mengatakan apa yang ingin dia katakan pada Rintarou.
Wakatoshi memang tak pandai mengutarakan perasaannya. Tidak pandai berekspresi makanya dia selalu mendapatkan teguran dari Ayumi soal itu. Tapi sekarang, perlahan, Wakatoshi ingin mencoba belajar, menjadi sosok ayah yang terbaik untuk Rintarou. Untuk anaknya.
Ia jadi teringat saat itu, ketika dirinya pergi ke rumah sakit empat belas tahun lalu. Saat—secara kebetulan—dirinya melihat seorang anak kecil duduk di atas kursi di sebuah halaman rumah sakit dengan perban membalut kepalanya. Pandangan anak itu terlihat tak bercahaya dan hanya memandang lurus ke depan. Tanpa menyadari, jika Wakatoshi dengan memperhatikannya dari jauh.
"Sudah tujuh tahun berlalu ya, Wakatoshi."
"Bagi saya semuanya masih terasa seperti kemarin, Daren."
Wakatoshi masih mengingat jelas bagaimana tawa Daren begitu Wakatoshi bicara seperti itu. Pria yang Wakatoshi ketahui sebagai kakak dari Ayumi.
"Yah, tapi kenyataannya sudah tujuh tahun berlalu. Dan jika kamu lupa, anakmu juga sudah tumbuh sejak saat itu."
"...."
"Kalau kamu ingin bertemu dengan anakmu, di sana. Rintarou sedang duduk di kursi itu."
"Kenapa dia diperban seperti itu?"
"Yah ... ada sedikit kecelakaan."
"Sedikit?"
"Tidak tidak, bukan sedikit lagi. Ini cukup parah."
"Apa yang terjadi, Daren?"
"Anakmu menyelamatkan temannya yang terbawa ombak bulan lalu. Dan baru dua minggu yang lalu Rintarou sadar dari komanya. Dan yah ... dia kehilangan ingatannya."
"Maksudmu, Rintarou amnesia?"
"Ya, benar. Rintarou Amnesia."
*
*
"Selamat, Tuan Muda. Anak anda laki-laki."
"Maaf kami tidak bisa menyelamatkan Nona Isabelle, Tuan."
"Kamu harus menyembunyikan bayimu, Wakatoshi. Mereka akan mengincar anakmu jika tahu anakmu selamat dari insiden itu. Karena, bukan hanya Isabelle yang mereka incar, tetapi anakmu juga."
"Aku bersedia menjaga keponakanku."
"Kau sudah memberinya nama, Wakatoshi?"
"Rintarou, Suna Rintarou."
😭😭😭😭😭😭😭
BalasHapushuhuhuhuhu
BalasHapus😭😭😭
BalasHapus