"Hei Wakatoshi!"
Ushijima Wakatoshi—mahasiswa baru tahun pertama di salah satu Universitas ternama di Jepang—menoleh begitu mendengar seseorang memanggil namanya. Matanya berpencar mencari sumber suara itu dan menemukan Sachiro melambaikan tangannya tengah duduk di salah satu sofa bersama teman-temannya yang lain. Suara bising usik dari lantai dansa juga penerangan yang temaram sedikit membuatnya kesulitan untuk menemukan temannya berada apalagi dengan banyaknya pengunjung yang berada di dalam klub malam itu.
Wakatoshi melanjutkan langkahnya menuju tempat teman-temannya berada lalu membalas sapaan teman-temannya yang berusaha akrab dengannya singkat—meskipun sebenarnya respons Wakatoshi terlihat tidak mencerminkan jika dia tertarik dengan mereka. Mungkin, karena Wakatoshi adalah pewaris utama dari Ushijima Groups makanya teman-temannya berusaha baik padanya meskipun sifatnya sangat tak bersahabat seperti ini. Jika saja Wakatoshi bukan keluarga Ushijima, mungkin dirinya tidak akan punya teman seperti sekarang.
"Kau telat sekali Wakatoshi, kemana dulu memangnya?" tanya Hayato yang duduk di samping kiri Wakatoshi.
"Wakatoshi, mau minum?"
"Ya, terima kasih." Wakatoshi menerima gelas berisi red wine yang diberikan Jin yang lain lalu menjawab pertanyaan Hayato, "Saya harus bertemu dengan salah satu dosen setelah selesai kelas hari ini."
"Astaga ... aku pikir setelah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi, cara bicaramu ngga formal lagi, Wakatoshi-kun," komentar Mai seraya meneguk segelas alkohol di tangannya. Teman-temannya yang lain tertawa menyetujui komentar Mai karena tak menyangka jika Wakatoshi tidak banyak berubah meskipun sudah tiga bulan berlalu semenjak kelulusan mereka. Wakatoshi hanya mengerjakan matanya dan menjawab "Ya." dengan singkat dan lagi-lagi membuat mereka tertawa.
"Aku rasa kamu harus lebih santai sedikit, Wakatoshi. Nanti teman-teman kuliahmu takut padamu, loh?"
"Benar-benar! Ngomong-ngomong apa kamu sudah punya teman sekarang?"
"Aku rasa banyak yang mau berteman dengan Wakatoshi-kun, cuman mereka takut saja," ujar Arumi. "Karena Wakatoshi-kun kan cukup terkenal di sekolah kita. Bahkan banyak sekali yang ingin jadi pacarnya."
"Benar, aku bahkan sering lihat loker Wakatoshi penuh sama surat cinta," kekeh Jin.
"Kalau aku jadi Wakatoshi, sepertinya aku bakal pacarin semua cewek." Mendengar perandaian yang diucapkan Hayato membuat dirinya langsung mendapat pukulan di pundaknya oleh Mai. "Aduh Mai!"
"Untung aja ya, Wakatoshi-kun ngga kayak kamu."
Mereka kembali tertawa lalu kembali berbicara banyak hal yang tentu saja hanya Wakatoshi dengarkan tanpa menanggapi pembicaraan mereka. Sachiro yang duduk di samping Wakatoshi melirik pria itu sekilas lalu meneguk minumannya sambil ikut berbincang dengan teman-temannya. Pembicaraan dengan ditemani alkohol itu semakin larut dan mereka mulai terlihat tanda-tanda mabuk. Hayato mengajak mereka pergi ke lantai dansa karena semakin malam lantai dansa itu semakin ramai oleh pengunjung, dan semakin asik untuk ikut bergabung. Jin, Mai, dan Ayumi menerima ajakan itu kecuali Sachiro dan Wakatoshi. Mereka memilih tetap di tempatnya.
Sepeninggalan teman-temannya, Sachiro kembali menatap Wakatoshi. "Kamu bisa menolaknya jika tidak nyaman, Wakatoshi." Mendengar ucapan Sachiro membuat Wakatoshi menoleh padanya. Bertanya dari raut wajahnya apa maksud dari ucapan Wakatoshi. "Acara hari ini, kalau kamu tidak nyaman dan tidak mau ikut, kamu bisa menolaknya."
"Kau sendiri bagaimana bisa bertemu teman-teman yang lain?" Wakatoshi balik bertanya.
"Aku tidak sengaja bertemu mereka siang ini, lalu mereka mengajakku bergabung dan memintaku mengajakmu juga," jawabnya. "Kau tahu? Sebelumnya juga banyak yang mengajakku bergabung alih-alih ingin mengajakmu juga." Sachiro meraih botol wine di atas meja lalu menuangkannya pada gelas miliknya. Dirinya tidak berbicara lagi sampai suara Wakatoshi terdengar.
"Jika kamu tidak nyaman juga, kamu bisa menolaknya, Sachiro." Gerakan tangan Sachiro terhenti begitu mendengarnya, dirinya menoleh pada Wakatoshi dengan pandangan terkejut. "Aku tidak keberatan jika mereka ingin mengajakku pergi minum atau makan, jika itu masih dalam batasannya. Tapi, jika kamu merasa risih dengan itu. Kamu bisa menolaknya saat mereka memaksamu untuk mengajakku juga."
Sachiro tertegun beberapa saat mendengar ucapan Wakatoshi yang selalu membuatnya terpana seperti ini. Entah sejak kapan dirinya mengagumi sosok Wakatoshi yang sangat sempurna di matanya, juga bagaimana dirinya bersikap meskipun dia adalah seorang true-alpha dan anak dari Ushijima Naoto—salah satu pengusaha terkenal di Jepang. Meskipun dirinya mempunyai power dari ayahnya. Wakatoshi tidak pernah menunjukkan itu. Dirinya tumbuh dengan kemauan dan kemampuan dirinya sendiri tanpa bayang-bayang ayahnya—dan itu sangat Sachiro kagumi sampai saat ini.
Dan sepertinya, rasa kagum itu membuat mereka menjadi teman dekat tanpa sadar.
Tawa Sachiro berderai begitu saja membuat Wakatoshi menatapnya kebingungan. Pria itu menepuk punggung Wakatoshi di sampingnya kemudian berbicara, "Tentu saja aku akan langsung menolaknya jika tidak mau. Tapi untuk hari ini, aku rasa, tidak buruk." Sachiro meneguk minuman miliknya. "Karena Hayato teman dekatku, dan mereka cukup asik juga. Oh! Juga karena Mai sepertinya menyukaimu, makanya aku sengaja mengajakmu."
"Mai?"
"Iya, kamu engga sadar ya?"
Wakatoshi menggeleng.
"Astaga ... kalau gini terus bisa-bisa kamu ngga dapet pacar loh!" ujar Sachiro. "Atau jangan-jangan kamu berpikir bakal dapet fated mate seperti kedua orang tuamu?"
"Tidak juga," jawabnya. "Saya tidak ingin mempunyai fated mate."
Kening Sachiro mengkerut karena tak mengerti kenapa Wakatoshi menjawab seperti itu apalagi dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan di balik wajah datarnya. Apa karena kejadian kedua orang tuanya dengan ibu tirinya, makanya Wakatoshi tidak ingin memiliki nasib seperti mereka?
"Fated mate itu memang luar biasa sih, saking luar biasanya bisa membuat hal tak terduga terjadi."
Wakatoshi mengangguk singkat. Dirinya lalu bangkit dari duduknya. "Saya mau ke toilet sebentar."
"Mau ditemani?" Wakatoshi memicing pada Sachiro yang tekekeh di tempatnya. "Bercanda ...."
Wakatoshi pergi dari sana menuju toilet yang berada di pojok ruangan. Langkahnya terus tercipta dengan santainya meskipun banyak pasang mata yang menatap padanya—entah karena penuh minat pada sosoknya yang terlihat sangat mendominasi di antara pengunjung lain di klub itu atau karena mereka menyadari jika sosok itu adalah Ushijima Wakatoshi. Dirinya sudah terbiasa dengan pandangan orang-orang terhadapnya dan tak menghiraukan itu. Selagi mereka tak berbuat macam-macam padanya, Wakatoshi tidak perlu menghiraukan itu.
Saat Wakatoshi akan memasuki toilet pria, penciumannya tiba-tiba mencium sesuatu yang kuat dan menekan pergerakannya. Tubuhnya seketika merinding karena aura yang tiba-tiba terasa mecekam itu, dan dirasakan oleh beberapa pengunjung yang berada di sekitar toilet itu. Tangannya refleks menutup hidungnga karena aroma kuat yang benar-benar membuatnya pening. Padahal, seorang true-alpha tidak mungkin bisa ditekan oleh aroma feromon orang lain.
Apa ada seorang true-alpha di sekitar sini? Sedang apa dia sampai mengeluarkan feromon kuat seperti ini?
Setelah bergelut dengan pemikirannya, Wakatoshi akhirnya memilih masuk ke dalam toilet itu sambil menutup hidungnya. Detik berikutnya, tubuhnya kaku seketika melihat pemandangan di depannya.
Buaght!
"A—Ayumi, su—sudah ... dia sudah tidak sadarkan diri—"
"Bajingan! Beraninya melecehkan temanku!"
Bught!
Melihat seorang wanita tengah menghajar seorang pria yang babak belur di bawahnya seorang diri.
*
*
*
Wakatoshi terdiam menatap figura seorang wanita dengan rambut coklat panjang yang sengaja terurai dengan dihiasi bandana biru muda, tersenyum ke arah kamera sambil menggandeng tangannya. Entah kapan foto itu tepatnya diambil tapi sepertinya sekitar puluhan tahun yang lalu. Saat dirinya merasakan masa-masa bahagianya bersama seseorang yang sangat dia cintai. Sampai akhirnya, semuanya hilang begitu saja.
Dirinya tak menyangka jika akan menemukan bingkai foto itu di dalam lemarinya yang mungkin sengaja dia sembunyikan dulu untuk membantunya melupakan sosok kekasihnya yang pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Meninggalkan semua kenangan yang mereka ukir bersama dan semua janji yang telah mereka buat. Yang ini tak bisa mereka penuhi, dan sepenuhnya teringkari.
Bingkai foto itu kembali ia simpan ke dalam lemari dan melanjutkan mencari barang yang seharusnya ia cari sekarang. Berusaha melupakan kenangan yang tiba-tiba muncul di kepalanya setiap dirinya kembali teringat tentang wanita itu. Dan lagi-lagi, itu menyesakkan dirinya.
Duk!
"Sialan!"
"Ap—apa pun yang terjadi ... bayi ... bayi kita harus—hiks—selamat ...."
"Kamu—kamu ... harus melindungi ... bayi kita, Wakat—"
Ayumi ... apa saya bukan papa yang baik untuk Rintarou?
Komentar
Posting Komentar