Langsung ke konten utama

Part 145; Solasta

 Satu hal yang Osamu lihat ketika ia membuka matanya; pantai. Suara desir ombak yang datang dari utara menuju bibir pantai menerjang sepasang kaki yang menunggu kedatangannya. Juga suara-suara riuh yang tercipta oleh orang-orang yang berada di sana. Menikmati semilir angin yang berhembus menambah sejuk suasana sore itu.

    Namun, satu hal yang tak Osamu mengerti.

    Kenapa ia berada di sini?

 Iris keabuannya bergerak untuk melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing baginya. Hanya dia seorang diri di sana bersama orang-orang asing yang tak Osamu kenali, dan sepertinya tak menghiraukan dirinya di sana. Pandangannya lalu bergerak menuju kedua kaki telanjangnya yang memijak pasir pantai yang halus itu. Jari-jari kakinya bergerak perlahan untuk memastikan, apakah dia benar-benar berada di sana, atau ini hanya halusinasinya saja.

    "Hei Samu!" 

    Deg!

    Jantung Osamu terasa berdenyut kencang begitu mendengar suara seseorang. Dirinya langsung mencari sumber suara itu dan menemukan seorang anak kecil berlarian sambil membawa bola voli pantai di kedua tangannya. Jaraknya cukup jauh dari posisi Osamu berada, sehingga ia tak bisa melihat dengan jelas wajah anak kecil itu.

    "Hei Samu! Kenapa kamu di sini? Ayo kita main di sana, bukannya aku udah bilang ke kamu kalau hari ini kita akan belajar voli pantai?" Meski berada pada jarak yang jauh, Osamu masih mendengar dengan jelas suara anak kecil itu berbicara pada seorang anak lainnya yang berdiri membelakangi dirinya sambil memandang ke arah laut. Meski suaranya beradu oleh hiruk piruk di sekitarnya.

    "Ngga perlu takut, aku udah bilang sama Mama. Papa juga bolehin kita main voli kok!" Anak itu meraih lengannya dan membawanya berlari kecil menuju arah lain. Osamu memperhatikan itu, mengikuti kemana mereka akan pergi sampai keduanya berhenti setelah melihat sesuatu.

    "Rin-kun! Tetsu-kun! Ayo kita main voli!"

    "Woah kalian mirip sekali."

    "Tentu saja mirip, mereka kan ...."

    "Ah ... mereka ... ternyata ...."

    Sing!

    Osamu merasa telinganya mendengung. Tak bisa mendengar percakapan keempat anak itu yang makin samar ia dengar. Osamu mencoba menggerakan tubuhnya untuk mendekati mereka, tetapi kedua kakinya tak bisa bergerak. Pandangannya pun memudar, dan semua yang ia lihat perlahan memudar dan menghilang.

    Tunggu ....

    Tangannya terulur menuju seorang anak kecil berambut kecoklatan yang terlihat sangat tak asing baginya.

    Tunggu sebentar ....

    "Jadi kalian udah kenal ..."

    "Apa kita perlu kenalan lagi?"

  "... namaku ... kamu bisa memanggilku Rin. Namamu, siapa?"

    "...."

    Deg!

*


*


*

    Deg!

    Osamu membuka matanya. Jantungnya masih berdetak kencang akibat mimpi aneh yang dia dapatkan barusan. Membuat kepalanya sedikit pening akibat memikirkan semua hal yang dia dengar dan lihat di dalam mimipi itu. Benar-benar mengganggunya.

    Pantai, keempat anak kecil itu, dan percakapan mereka. Kenapa saat melihatnya, Osamu merasa tak asing namun juga asing karena dirinya sama sekali tidak mengingatnya. Memorinya terasa kosong untuk mencoba mengingat kembali tentang; apakah dia pernah mengunjungi panta itu? Apa dia pernah menjadi salah satu bagian dikejadian itu? Mencoba sekuat tenaga untuk mengingatnya pun, Osamu tak bisa. Dia benar-benar tak mengingatnya.

    Tangannya perlahan memijit keningnya yang terasa pening lalu berusaha bangun dari tidurnya.

    "Akh—"

    Sakit. Osamu merasakan pinggulnya juga bagian bawahnya sakit saat ia mencoba untuk duduk. Rasanya seperti tubuhnya remuk dan tak sanggup untuk bergerak. Tapi, Osamu mencobanya sekali lagi, dengan pelan-pelan—meski dia berulang kali mengaduh karena kesakitan—dan berusaha untuk duduk sambil bersandar pada kepala ranjang.

    Setelah berhasil duduk, Osamu baru menyadari jika dirinya memakai jubah mandi berwarna putih sehingga mengekspos tubuh bagian atasnya yang tak tertutup apa-apalagi.

    Sejak kapan ia jadi suka tidur sambil memakai jubah mandi?

    Osamu menyibakkan selimut coklat yang menyelimuti tubuhnya lalu terdiam sebentar karena mengingat jika seprai juga selimut yang dia pakai berubah. Padahal Osamu ingat sekali jika dia belum menggantinya. Kebingungannya bertambah ketika ia mendapati bagian bawah tubuhnya pun tidak memakai apapun.

    "Ke—kenapa saya ... telanjang?" ucap Osamu pelan. Mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya.

    Deg!

    Pipi Osamu memerah seketika begitu semua hal yang terjadi padanya satu persatu mulai dia ingat. Dimulai ketika ia mendapati pesan dari Rintarou saat dia pulang dari rumah sakit, tubuhnya yang berubah aneh, lalu kepulangan Rintarou yang akhirnya menyebabkan hali itu terjadi pada mereka.

    Osamu menggenggam kedua tangannya sebelum akhirnya menutup wajah memerahnya karena malu. Kenapa bisa-bisanya dia melakukan itu bersama tuan mudanya? Dan kenapa ... dia terangsang karena feromon Rintarou dan bagaimana sentuhan Rintarou pada tubuhnya? Kenapa tubuhnya memanas dan rasanya ... dia ingin terus disentuh oleh Rintarou?

    Osamu menyentuh dadanya dengan kepalan tangannya dan merasakan debaran jantungnya. Sentuhan itu ... rasanya masih membekas diingatannya.

    "Lo ... heat ya, Sam?"

    Benar.

    Saat itu dia sedang heat.

    Heatnya kembali muncul.

    Bagaimana bisa? Bukannya ... sudah hampir dua tahun ini dia tidak pernah merasakan heat lagi? Bukannya ... dirinya sudah berubah menjadi alpha?

    Kenapa ... jadi seperti ini?

    Ceklek!

    Pintu kamar Osamu terbuka oleh Rintarou yang datang sambil membawa nampan di tangannya. Keduanya tentu terkejut mendapati jika Osamu sudah bangun dari tidurnya, dan Rintarou yang masuk ke kamarnya.

    "Ah ... l—lo udah bangun, Sam?" tanya Rintarou setelah menemukan suaranya yang terdengar gugup.

    "Sudah, Tuan Muda." Osamu menjawabnya pelan, menundukkan pandangannya karena tak sanggup untuk melihat Rintarou.

    "Gue ... boleh masuk?"

    "Boleh."

    Setelah mendapatkan izin, Rintarou kembali melangkah ke dalam kamar Osamu dan menyimpan nampan berisi beberapa obat, segelas air, dan sepiring roti selai stroberi kesukaan Osamu di atas nakas. "Gue bawain lo obat penekan. Takut lo ... butuh," ujar Rintarou susah payah karena bingung harus mengatakan apa pada osamu.

    Jujur, Rintarou juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan pada seorang omega yang sedang heat. Apa lagi setelah mereka melakukan seks kemarin. Rintarou bahkan sampai harus mencari diinternet soal ini, dan membeli suppressant untuk Osamu dengan dosis yang rendah. Sebagai jaga-jaga juga takut jika heat Osamu kembali datang.

    "Gue juga bawa roti selai, maaf ya gue engga bisa masak makanan yang lebih enak buat lo. Ini masih subuh, jadi lo bisa tidur lagi kalau masih capek." Rintarou memandang Osamu yang diam di tempatnya tak memandangnya sama sekali. "Kalau gitu, gue ... ke kamar gue ya? Kalau ada apa-apa, lo bisa panggil gue."

    "Tuan Muda."

    Langkah Rintarou yang akan pergi dari sana terhenti karena suara Osamu yang memanggilnya. Rintarou segera berbalik dan menunggu Osamu melanjutkan. "Kenapa Tuan Muda tidak mengusir saya?"

    Kening Rintarou mengkerut mendengarnya. "Ngusir kamu? Buat apa?" tanyanya bingung.

    "Karena saya sudah terbukti seorang omega, karena saya berbohong, karena saya ... bukan seorang alpha, seharusnya saya ... sudah tak layak bersama Tuan Muda, bukan?" Ucap Osamu pelan, namun masih bisa terdengar oleh Rintarou. Pria itu masih menundukkan pandangannya tak berani menatap Rintarou yang terlihat terkejut mendengar itu.

    "Kok lo ngomong gitu, Sam? Kenapa gue harus ngusir lo karena lo omega?"

    "Saya tidak berguna, Tuan Muda."

    "Osamu."

    "Saya ... tidak pantas melindungi, Tuan Muda. Saya tidak layak Tuan—"

    "Osamu lihat gue!"

    Rintarou menarik kedua pundak Osamu agar memandangnya. Menatap kedua iris kuning kecoklatan miliknya dan mengunci pria itu agar tak lari darinya. Kedua iris keabuan Osamu terlihat berkaca-kaca menahan air matanya yang akan jatuh begitu ia mengedipkan matanya.

    "Dengar, Osamu. Ngga ada yang akan ngusir lo, ngga akan ada yang ninggalin lo, buang lo, engga ada, Sam. Mau lo omega, alpha, beta, atau apapun, lo tetep Osamu yang gue kenal. Lo tetep layak buat ada di samping gue apapun status lo." Rintarou menangkup kedua sisi wajah Osamu, menghapus air matanya yang mulai mengalir jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi pipi tembamnya. "Jadi jangan mikir kayak gitu ya, Sam? Gue bakal selalu ada sama lo, apapun yang terjadi."

    Osamu tidak tahan lagi menahan isak tangisnya mendengar ucapan Rintarou yang begitu menyentuh hatinya. Rasa hangat itu membuat Osamu berakhir menangis sambil menerima pelukan yang Rintarou berikan padanya. Menenggelamkan wajahnya pada pelukan itu. Meredamkan tangisnya yang entah kenapa tak mau berhenti. Meski Rintarou berusaha meredakannya.

    "I'm here for you, Osamu. Cup, cup ...."

    Rintarou mengelus helai rambut abu-abu Osamu pelan. Menggusak sisi wajahnya pada rambutnya dan mengecup puncak kepala Osamu berulang kali. Menenangkan pria itu agar percaya, bahwa Rintarou; akan selalu di sisinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu