Langsung ke konten utama

Part 45; Solasta

 Sudah hampir dua jam Rintarou duduk diam di sofa kamarnya sambil memandang Osamu yang masih terlelap di atas tempat tidur miliknya. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan sadar dari pingsannya sejak terakhir kali Rintarou coba membangunkannya. Telapak kakinya bergerak tak sabar—gemas ingin membangunkan pria itu agar ia bisa memastikan apakah ada luka lain yang Osamu dapatkan dari hasil entah apa yang pria itu lakukan sampai membuatnya babak belur begini.

Melihat masih tak ada tanda-tanda Osamu akan membuka matanya, Rintarou menghela napas gusar. "Serius … lo kapan bangun sih, Sam?" gumamnya mengacak rambut belakangnya frustasi lalu bangkit berdiri dari posisinya. Menghampiri Osamu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau lo kenapa-kenapa, bisa-bisa gue yang disalahin Papa tau?"

"Mana Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang."

"Kenapa juga Kak Daichi ngga bisa ke sini sekarang?"

"Mana gue ngga boleh kemana-mana lagi ... aneh banget."

Rintarou terus mendumel tidak henti-henti sejak tadi. Bingung sekaligus cemas atas kejadian yang menimpanya malam ini. "Bentar, badan lo ngga demam, kan?" Rintarou menempelkan punggung tangannya pada permukaan kening Osamu setelah menyibakkan rambut abu-abu milik pria itu.

Deg!

Rintarou refleks menarik tangannya dari kening Osamu saat merasakan jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Mata sipitnya membulat, terkejut dengan perasaan aneh yang tiba-tiba ia rasakan saat dirinya bersentuhan dengan Osamu. Padahal sebelumnya, Rintarou tidak merasakan sensasi seperti ini meskipun dirinya melakukan kontak fisik dengan Osamu—saat membawanya ke apartemen sambil menggendong dirinya

"Hng ...."

Belum keterkejutannya hilang, Rintarou kembali dikejutkan dengan suara erangan yang berasal dari Osamu. Rintarou tidak memutuskan untuk melakukan apa-apa karena mau memastikan apakah Osamu akan bangun atau kembali tertidur.

Di luar dugaan Rintarou, Osamu ternyata perlahan membuka matanya sambil menggerakkan jari-jarinya sebentar. Erangannya kembali muncul begitu kepalanya digerakkan disusul kelopak matanya terbuka, dan iris abu-abunya menangkap pandangan terkejut Rintarou di sana.

Osamu refleks bangun dari tidurnya. "Tu—tuan Muda—duh!"

"Hei hei jangan tiba-tiba bangun gitu, luka lo kan belum kering—"

"Ah!"

Rintarou yang berniat menahan pergerakan Osamu dengan memegang lengannya malah membuat Osamu berteriak kesakitan. Cepat-cepat ia melepaskannya. "Sorry ... gue ngga tau kalau bagian itu juga terluka—"

Belum sempat Rintarou menyelesaikan ucapannya, Osamu sudah bangkit berdiri lalu membungkuk hormat padanya, tentu saja membuat Rintarou menganga tak percaya.

"Maafkan saya sudah lancang berbaring di tempat anda, Tuan Muda."

"Huh?"

"Anda bisa menghukum saya karena sudah berbuat tidak sopan kepada anda, Tuan Muda."

"Hah? Kenapa juga gue harus hukum lo—tunggu sebentar! Lo kenapa berdiri anjir, lo kan lagi luka, harusnya jangan banyak gerak dulu."

Osamu menegakkan tubuhnya kembali memandang Rintarou yang berjarak beberapa meter darinya. "Baik."

Di luar dugaan Rintarou untuk kesekian kalinya. Osamu malah duduk di lantai. "Loh kenapa duduk di lantai, duduk di kasur."

"Tapi tempat tidur adalah milik Tuan Muda, sangat tidak sopan jika saya duduk di sana."

Helaan napas frustasi Rintarou kembali terdengar karena tidak mengerti kenapa Osamu harus seformal dan sehormat ini padanya. Jika ini karena Rintarou adalah putra dari Ushijima Wakatosi yang notabene-nya adalah orang yang sangat Osamu hormati, Rintarou tidak menyukai itu.

"Gue engga keberatan lo duduk di sana," ujar Rintarou sambil mencari-cari kalimat yang bisa membuat Osamu mengikuti perintahnya.

Tunggu ....

Perintah?

"Itu tidak sopan Tuan Muda—"

"Tapi ini perintah, Osamu." Rintarou memotong ucapan Osamu membuat pria itu terdiam. Seperti tengah memikirkan kalimat yang rintarou ucapkan padanya.

"Tapi ini perintah Mama, Samu."

Osamu langsung duduk kembali di atas tempat tidur sesuai apa yang Rintarou ucapkan. Hal ini tentu saja membuat Rintarou terkejut sekaligus mengerti kalimat apa yang harus ia ucapkan agar Osamu mau mengikuti ucapannya.

"Tunggu sebentar." Rintarou keluar dari kamarnya untuk mengambil kotak obat, sebaskom kecil air, dan juga handuk kering yang ia masukkan ke dalam baskom lalu kembali ke dalam kamar. Menyimpan semua barang yang dia bawa di lantai kecuali kotak obat yang sengaja ia simpan di atas pangkuannya saat dirinya duduk di tepi ranjang. Di samping Osamu yang terus menatapnya.

"Sebenernya gue mau nanya banyak pertanyaan sama lo, cuman gue lebih khawatir sama luka lo." Rintarou meraih cermin di atas nakas lalu memberikannya pada Osamu sehingga Osamu dapat melihat luka lebam di sekitar wajahnya dan sebuah perban yang melilit kepalanya.

"Sekarang gimana perasaan lo? Apa lo masih ngerasa sakit? Atau apa gitu?"

Osamu memang merasa kepalanya pening dan perih di sekujur tubuhnya. Tapi, karena Osamu sering mendapatkan luka seperti ini, jadi baginya, ini bukanlah apa-apa dan dia bisa mengatasinya. Dia juga tidak merasakan efek obat yang datang seperti saat itu. Jadi sekarang Osamu memang baik-baik saja.

"Saya baik-baik saja, Tuan Muda."

Memang sih, dilihat dari ekspresi dan sikap Osamu sekarang, pria itu tidak menunjukkan jika dia kesakitan dengan luka yang dia dapatkan.

"Oke, sekarang buka baju lo."

Eh?

Detik berikutnya, Rintarou terkejut dengan ucapannya sendiri. Dia menatap Osamu yang juga menatapnya. "Ma—maksud gue, gue mau mastiin lo dapet luka di perut atau di mana gitu. Makanya gue minta lo buka baju. Bu—bukan maksud apa-apa ya, jangan salah paham." Rintarou cepat-cepat menjelaskan dengan terbata sambil merutuki dirinya sendiri.

Tapi sepertinya kepanikan Rintarou tidak seperti Osamu. Pria itu malah terlihat kebingungan dan akhirnya membuka bajunya sesuai seperti apa yang Rintarou ucapkan tanpa bertanya lagi.

Saat Osamu membuka bajunya, Rintarou dapat melihat luka lebam kebiruan yang terdapat di perut, lengan, dan punggungnya. Membuat Rintarou berdesis dalam hati karena ngilu membayangkan betapa sakitnya luka-luka seperti itu meskipun akan cepat pulih pada tubuh alpha.

"Kemari."

Osamu menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Rintarou. Memilih diam dan mengamati apa yang akan tuan mudanya itu lakukan padanya. "Lo yakin baik-baik aja sedangkan lo dapet luka kayak gini?"

Osamu mengangguk. "Ya, Tuan Muda."

"Yakin?" Rintarou menatap Osamu tak percaya. Kembali memastikan apakah ucapan pria itu benar atau justru berbohong.

Yang ditatap hanya mengerjabkan matanya lalu menjawab kecil, "Benar."

"Walaupun gue teken kayak gini?"

Rintarou iseng menekan pelan lebam di lengan Osamu untuk melihat reaksi pria itu. Siapa tahu kan memang saat Rintarou menekan lukanya, Osamu beneran tidak merasakan sakit.

"Aduh!"

Tapi Osamu mengaduh. Membuat Rintarou menyeringai. "Katanya baik-baik aja tapi gue pegang tetep sakit tuh?"

Osamu tidak menjawab. Seperti sedang mencari kata yang harus ia ucapkan untuk menjawab perkataan Rintarou. Sang alpha hanya bisa geleng-geleng kepala lalu meraih handuk basah di dalam baskom lalu ia remas sampai handuk tersebut sedikit lembab. "Sini gue kompres dulu luka lo."

Osamu membiarkan Rintarou mengkompres luka lebam di perutnya dengan hati-hati. Osamu dapat merasakan suhu menurun dari handuk tersebut pada permukaan kulitnya dan itu membuat Osamu berdesis pelan.

"Sorry."

Rintarou kembali melanjutkan sesi pengobatannya pada Osamu tanpa adanya percakapan di antara mereka. Entah karena Rintarou yang terlalu fokus mengobati Osamu atau Osamu yang terlalu fokus memperhatikan setiap pergerakan tuan muda di hadapannya—atau malah, karena masih terasa canggung karena tidak tahu harus membicarakan apa.

Apalagi, Rintarou masih sedikit asing dengan Osamu dan caranya berbicara yang benar-benar terlalu kaku dan formal.

"Sudah," serunya ketika selesai melilitkan perban disetiap luka Osamu. Ia menutup kotak obat di pangkuannya lalu meraih baskom kecil serta handuk di lantai. "Sekarang lo istirahat aja. Gue mau nyimpen ini dulu."

Melihat Osamu yang tak yakin Rintarou menambahkan seraya bangkit dari duduknya, "Tidur di sini aja, engga papa. Engga usah gerasa ngga sopan atau apalah itu, toh gue kan yang nyuruh lo?"

Osamu akhirnya mengangguk lalu berbaring di atas tempat tidur Rintarou. Setelah memastikan jika Osamu benar-benar istirahat di sana, ia lalu keluar dari kamar tidurnya, menyimpan barang-barang yang dia bawa kembali ke tempatnya dan kembali ke dalam kamar itu.

"Kalau mau tidur, tidur aja. Udah tengah malem lagian." Rintarou mendudukkan diri di sofa, menatap Osamu yang membalikkan wajahnya menghadap Rintarou.

"Baik, Tuan Muda."

Osamu menutup matanya, menyamankan dirinya untuk beristirahat seperti apa yang Rintarou ucapkan. Dan beberapa saat kemudian, Rintarou dapat mendengar deruan napas teratur Osamu dan wajah terlelapnya yang menadakan jika Osamu tertidur.

Sang Tuan Muda memandang wajah terlelap Osamu dari tempatnya berada. Mengingat kembali potongan memori yang terjadi malam ini yang tiba-tiba tidak bisa ia ingat. Semuanya membuat kepala Rintarou pening dan akhirnya, ia hanya bisa menghela napas untuk kesekian kalinya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Memandang langit-langit kamarnya sambil mengingat pertemuan pertamanya dengan Osamu.

Terakhir Ritarou ingat, bukannya Osamu belum bisa bahasa Jepang?

Ia kembali memusatkan pandangannya dari langit-langit kamar pada sosok Osamu di hadapannya. "Bahasa Jepang lo bagus juga, Sam. Ternyata lo cepet belajar juga, ya?"

Bibir Rintarou bergerak tanpa sadar dan raut wajahnya berubah menghangat.

Atas perasaannya yang tiba-tiba menghangat saat memandang wajah Osamu dan mencium aroma manis yang samar menguar dari tubuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part 23; Solasta

  Suna Rintarou menghentikan mobil Chevrolet Camaro hitam miliknya tepat di depan sebuah gerbang mewah setinggi dua meter yang menjadi pintu masuk utama menuju ke kediaman Ushijima Wakatoshi; petinggi sekaligus pemilik Ushijima Group —dan juga papanya. Melihat siapa yang datang, dua orang pria yang bertugas menjaga gerbang langsung membukakan gerbang untuknya. Tak lupa membungkuk hormat untuk menyambut kedatangan sang tuan muda yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya. Melihatnya, Rintarou sedikit berdecih dalam hati karena dirinya tidak terlalu suka diperlakukan bak seorang pangeran—padahal faktanya; dirinya diperlakukan seperti seorang buangan . Diasingkan Bahkan tidak ada yang tahu siapa Suna Rintarou sebenarnya selain orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin dari papanya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rintarou memarkirkan mobilnya di depan rumah setelah melewati air mancur besar yang berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya. Dia dapat melihat beber

Part 128; Solasta

 Di tengah perjalanan mereka menuju apartemen Rintarou setelah membeli bahan makanan untuk satu minggu ke depan, Rintarou tiba-tiba mampir terlebih dahulu ke salah satu kedai kopi untuk membeli dua gelas kopi untuk mereka. Karena ia tidak tahu apakah Osamu menyukai kopi atau tidak, jadilah Rintarou akhirnya memilih vanilla latte untuk Osamu dan Americano untuk dirinya.     Setelah mengantri cukup lama, Rintarou kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan segelas vanilla latte di tangannya pada Osamu. "Ini." Namun, Osamu tidak menerimanya dan malah menatap Rintarou kebingungan. "Buat lo, ambil." Sekali lagi Rintarou memberikan gelas itu pada Osamu dan akhirnya diterima oleh sang bodyguard.      "Terima kasih, Tuan Muda," ujarnya lalu memandang minuman itu di tangannya.      Awalnya Rintarou tidak menyadari itu karena ia sibuk meneguk americano miliknya sambil mengecek ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sampai ia kembali menoleh pada Osamu yang te

Part 40; Solasta

 Osamu berdiam diri di balik dinding yang terdapat di atas rooftop sebuah gedung bertingkat yang jaraknya berdekatan dengan Hotel Victorious berada. Mengamati acara pertemuan besar itu berlangsung dari atas gedung dengan menggunakan teleskop lipat di tangannya yang sengaja ia bawa di balik saku jubah hitam yang ia kenakan. Dari tempatnya berada, Osamu dapat melihat Wakatoshi sedang mengobrol dengan beberapa wanita bergaun mewah ditemani oleh Asahi di belakangnya yang bertugas mengawalnya di sana. Osamu lalu menggerakkan teleskopnya menuju ke arah lain untuk mengawasi di dalam ballroom itu yang dapat ia jangkau dari sana. Mencari sesuatu yang mencurigakan namun tidak ada yang ganjil di sana. Beberapa anggota tambahan dari divisi Sugawara sudah datang lima menit lalu dan langsung memulai tugasnya. Mengawasi di berbagai sudut yang memiliki kemungkinan adanya penyerangan tiba-tiba yang mungkin saja terjadi di sana dan beberapa tempat yang mudah untuk mengawasi keadaan di dalam hotel itu